Hari-hari berganti bulan, tanpa terasa sudah
berganti tahun. Setiap hari selalu ada kesusahannya sendiri. Berusaha berdiri
diatas kaki sendiri, menyeimbangkan langkah dan gravitasi. Bukan perkara mudah
memang, tapi kebiasaan selalu membuat apapun menjadi lebih indah.
Tak.. tok.. tak.. tok.. brukk..
Sekarang sekolah sudah tidak sepi lagi, renovasi
bangunan Utara menjadikan suasana semakin ramai. Agaknya malah semrawut. Keluar
masuk truk-truk pengangkut pasir, besi, dan bahan bangunan. Ditambah lagi
suara-suara pekerja yang sedang merobohkan tembok, memecahkan keramik, maupun
sekedar berteriak. Polusi udara pun tidak terelakkan lagi, ketika siang tiba
pasir-pasir diterbangkan angin. Tidak jarang mengotori wilayah lain.
Bagaimanapun juga ini adalah proses, merubah menjadi
lebih baik selalu ada konsekuensinya. Pertanyaannya siapkah kita menghadapi
konsekuensi itu? Atau justru memilih bergeming, takut dan khawatir pada sebuah
perubahan?
Kantor guru siang ini cukup sepi, kebetulan hari ini
aku mengajar sampai jam ke empat. Selebihnya aku hanya menatap reruntuhan
bangunan yang berhasil dirobohkan oleh para pekerja sambil mengoreksi jawaban
ulangan minggu lalu. Melihat kesalahan orang lain memang mudah, seperti aku
yang dengan mudahnya mencoret beberapa nomer dikertas yang ada ditanganku. Atau
seperti para pekerja bangunan yang meruntuhkan bangunan sekolah, mudah. Tapi
ketika membangun kembali semua menjadi lebih rumit. Mulai dari mengatur
kedalaman pondasi, memilih bahan bangunan yang bagus, sampai menciptakan gaya
bangunan yang simetris dan tidak ketinggalan zaman.
“Mas Panji lagi sibuk?”
Aku mendongak menatap kearah sumber suara, “Eh Bu
Anindya, Ada apa?”
“Begini mas, kalo tidak keberatan tolong gantikan
saya mengajar dikelas XI IPA 3. Saya mau nganterin anak saya ke dokter.” Ucap
bu Anindya
“Iya nggapapa bu, pelajaran fisika ya?”
“Betul mas, nanti kasih tugas saja yang penting biar
ndak rame. Seminggu lagi kan UTS,”
“Siap bu, salam buat
Andika bu semoga cepet sembuh.” kataku.
Andika adalah anak bu Anindya, usianya tidak berbeda
jauh dengan Danu sepupuku. Hanya saja postur Andika lebih tinggi.
“Aamiin, makasih mas. Maaf lho ngerepotin,” ujar bu
Anindya sambil keluar kantor dengan tergesa-gesa.
Setelah bu Anindya pergi aku baru ingat tidak
dititipi materi apapun. Lantas apa yang harus guru akuntansi sampaikan pada
siswa ipa? Menghitung pajak oksigen? Mendata pengeluaran air? Atau menghitung
harga kelapa jatuh? Yang benar saja.
Aku berjalan pelan melewati koridor sekolah, setibanya
didepan pintu kelas XI IPA 3 anak-anak yang semula diluar berhamburan masuk
kedalam kelas. Mereka mulai duduk dimejanya masing-masing dengan tenang meski
masih ada bisik-bisik disana sini, tapi suasana ini jelas berbeda dengan
kelas-kelas yang setiap minggu ku masuki.
“Selamat siang..” sapaku.
“Siang Pak..” sahut mereka kompak.
Aku berdiri disamping meja guru sambil memegang satu
buku yang ku ambil secara asal di mejanya bu Anindya.
“Kalian bawa buku ini kan?” kataku sambil mengangkat
buku yang ku pegang.
“Bawa ..”
“Engga..”
“Coba buka halaman 25 kerjakan soal nomer 5 sampai
seterusnya. Ditulis dibuku catataan yaa,”
“Wahh..”
“Banyak banget ih,”
Keluhan-keluhan itu terdengar ditelingaku, tentu
saja aku sengaja memberi mereka soal yang banyak supaya mereka tidak selesai
mengerjakannya. Tepatnya ada 90 nomer, meskipun pilihan ganda tapi menyelesaikan
soal fisika tetap harus dihitung dan membutuhkan waktu lama.
“Pak, soal nomer 7 kok ngga ada ketinggiannya?” seru
salah seorang anak dari pojok belakang.
Aku membaca soal yang dimaksud, “Kerjakan yang
mudah-mudah dulu, nomer 7 dilewati saja.” Ucapku.
“Bapak guru Akuntansi kan?” tanya anak laki-laki
yang duduk paling depan.
Suaranya tidak keras, tapi karena suasana kelas yang
lenggang sehingga suara tersebut justru terdengar sangat jelas. Tiba-tiba semua
anak berhenti menulis dan menatapku.
Aku mengernyit dan mengangguk, “Betul..”
“Atika titip salam buat Jimy kelas XI IPS 2 pak.”
Teriaknya.
Kontan suasana yang tadinya lenggang dan tegang
berubah menjadi riuh oleh tawa. Kini tinggal anak laki-laki tersebut yang
sedang menerima pukulan buku oleh seorang anak yang sepertinya bernama Atika.
“Nggak pak, Ken bohong. Dia yang ngefans sama aku.”
Ujar perempuan bernama Atika tersebut.
“Besok saya sampaikan..” kataku dengan bercanda.
“Pak daripada nyampein salam dari Ken, mending
bantuin ngerjain fisika.” Kilah Atika yang disambut sorakan teman-temannya.
Aku terkekeh kecil, “Masa yang dikasih tugas malah
ngasih tugas,”
“Yang nyusahin itu bagian ngitungnya.” Sahut Ken.
“Nyontek temen boleh pak?” lanjutnya dengan tampang polos.
Kelas kembali riuh.
“Usahakan menghitung sendiri ya, namanya belajar.
Salah kan tidak dihukum.” Sahutku.
“Gak dihukum pak, tapi dapet nilai jelek.
Ujung-ujungnya dihukum sama orang tua.” Ujar Ken.
“Betull..” sahut yang lainnya.
“Nahh.. makanya belajar. Sudah, lanjutkan
tugasnya..”
“Pak ada kisi-kisi buat UTS ngga?” teriak anak
dipojok belakang itu lagi.
“Saya kurang tau, coba besok tanyakan ke bu Anindya
ya..”
Pengalaman selalu memberi pelajaran, begitu juga
bagi siswa. Sejak diadakannya Ujian Nasional baik dari tingkat SD sampai SMA
membuat siswa terbiasa mencari kisi-kisi. Ada pula budaya mendaur ulang soal,
maksudnya mengumpulkan soal-soal tahun lalu untuk dipelajari. Tidak hanya
siswa, mahasiswa pun sering mencari soal-soal tahun lalu. Jika beruntung, soal
yang keluar sama persis dengan tahun sebelumnya. Yaa aku pernah mengalaminya.
Yang jelas entah kenapa belajar seperti beban sedangkan bermain selalu
menyenangkan.
Kurang 20 menit lagi bel pertanda berakhirnya
pertemuan hari ini berbunyi, aku memilih keluar dari kelas sebelum bel
berbunyi. Setidaknya mereka tidak akan keluar dari gerbang sekolah terlalu
awal.
“Dari mana mas?” tanya mba Sekar ketika aku memasuki
kantor.
“Ngajar,” kataku sambil mengangkat buku ditanganku.
Mba Sekar membaca tulisan pada buku yang ku pegang,
“Wahh.. kapan-kapan boleh tuh mas gantiin saya,” ujarnya sambil bercanda.
“Cuma ngasih tugas titipan bu Anindya,” sahutku.
Aku berjalan menuju mejaku, ku masukkan kertas-kertas
ulangan yang belum selesai dinilai kedalam ransel. Tidak lupa ku ambil jaket
yang ku gantungkan dikursiku.
“Besok libur empat hari, mau kemana aja mas?” tanya
mba Sekar.
Aku berpikir sebentar, “Dirumah saja. Emangnya mba
Sekar mau ngajak pergi?”
Wajah mba Sekar tersipu merona, “Hehe.. nanya aja
kok mas.”
“Saya pulang duluan ya mba..” Kataku sambil
menggendong ransel.
“Iya, hati-hati mas.”
Libur tidak libur sama saja. Paling-paling menemani
Danu bermain, membantu Bibi berjualan dipasar, atau ikut Paman memancing
sepulang dari kantor. Pulang? Ah ya kadang aku lupa jika ini bukan rumahku.
Rindu ini terasa menusuk, mengoyak hati dan
pikiranku. Jauh didasar hati ingin sekali berlari kembali, menapakkan kaki pada
tanah kelahiranku. Tapi entah kenapa aku tidak pernah siap untuk kembali,
memori itu menghantuiku. Sebuah kenangan masa lalu yang tidak pernah mampu ku
ceritakan pada siapapun. Sebab menceritakan masa lalu sama saja menggaruk luka
yang hampir mengering.
Post a Comment