sukma w.

aku suka pas liat cewek direbonding tapi aku ngga pingin direbonding..
aku suka liat orang pake dress selutut tapi aku ngga suka pake gituan
mereka-mereka itu kesannya anggun dan… luwes,
tapi tetep aja aku ngga pingin kayak gitu, Cuma suka ngeliatnya aja.
Apalagi kalo ada cewek pake kaos + celana jeans pendek + semacam jaket tapi kayak jas yang panjangnya nyampe kaki + sepatu boot berbulu + topi,
Ihhh kayaknya perfect banget deh,
Apalagi ditambah pake mobil sport yang atepnya terbuka dannn bawa pistol,
Wahhhh *ngebayangin*
Kayaknya keren loh, tapi aku ngga pengin kayak gitu,

Atau mungkin aku suka liat gaya cowok yang pake kaos item + jas item tanpa dikancing,
Nggggg, mirip-mirip suju gitu hehe
Kalo ngga cowok yang pake celana komprang,
Kayaknya lebih keren daripada pake pensil

Aku suka liat mereka, orang yang aku anggap terpenuhi..
Tapi entah kenapa aku ngga pingin jadi mereka,
Aku suka diriku yang kayak gini,
Aku Cuma suka ngebayangin kalo mereka kayak gini atau kayak gitu
Aku juga kadang ngebayangin orang-orang disekitarku dengan gaya-gaya yang menurutku harusnya mereka miliki
Atau dengan beberapa perubahan yang kalo aku bayangin bisa lebih wahhh dikit,
Aku sama temenku malah pernah ngebayangin guru yang lagi ngomong didepan kita tuh jadi botak,
Setelah aku bayangin, gila…
Ngakaknya ngga berenti-berenti, sampe diliatin sama tuh guru,
Ngg, kayaknya agak-agak kurang tepat deh,
Tapi mungkin efek imajinasi yang terlalu tinggi kali yah…
hehe
sukma w.
modem lola makin jarang ngepos dahh
sukma w.

coba bayangin deh. . .
kita lagi lari-lari dipantai,
kita sama-sama lagi ngejar sesuatu  yang kita inginkan.
Lihat kebelakang sebentar, apa yang kamu lihat?
Bekas pijakan kaki kita?
Sepakat…

Setiap langkah yang kita lewati selalu menimbulkan bekas, itulah kenangan.
Bekas pijakan kaki kita merupakan saksi bisu dalam setiap kejadian dihari kita.
Mungkin aku ngga sepintar Meika, sepede Surti, serajin Rafa, sesok tau Wiji, Sehapal Annisa, sekuat Ruri, senarsis Dias, sesetia Lisa, ngga bisa teriak sekeras Efi, ngga pinter speak kayak Nita, ngga senyante Liza dan Luqi, setenang Vita, seceria Bintang, secerewet Amalia, ngga punya BB kayak Nina, ngga bisa nggambar sebagus Susi, ngga kayak Purwati yang ngerti bahasa Korea, atau Indah yang bisa bahasa Inggris, ngga senurut Febrima, segaul Yeye,
Dan sesese yang lain.
Tapi aku adalah aku,
Suatu pribadi yang bisa kalian nilai sendiri dalam benak masing-masing.

Mungkin memang berbeda,
Tapi kita hidup untuk saling melengkapi.
Ibarat sepasang sandal,
Mereka tak akan dianggap sepasang jika mereka sama,
Mereka dianggap sepasang karena mereka berbeda, karena mereka saling melengkapicoba kalo sendalnya kanan semua, atau kiri semua
Enak nhgga tuh buat dipake, pasti ngeganjel gimana gituuu…
Sandal aja tau arti persahabatan,
Kalo yang satu ilang, pasti yang satu udah ngga berfungsi maksimal,
Emangnya siapa yang mau pake sandal satu doang? *penngecualian*
Walaupun bisa aja beli satu lagi trus dipasangin, atau minta punya tetangga yang udah ngga dipake trus dipake barengan,
Tapi tetep aja beda, ‘ngga serasi’ katanya

Sekarang pijakan kaki itu masijh ada,
Akankah menghilang 2 tahun lagi?
Kita berharap saja, ombak tak akan menghapusnya, angin tak akan menngacaukannya, dan orang lain tak akan menggantikannya.


#PS
Maaf buat yang ega ketulis,
Mungkin bekas pijakan kakimu kurang ketara,
Atau mungkin kamu terlalu jauh, hingga pijakanmu sudah tak terlihat oleh mataku.


Salam satu hati selalu ^^

©shuckeiiyma
sukma w.

Kali ini Fania benar-benar terlambat dating ke kantor. David, atasan Fania berjalan mendekat kemeja Fania dan menegurnya.
“terlambat 25 menit, kemana aja?” Tanya David tanpa ekspresi
“maaf, tadi taksinya susah.” Sahut Fania memberi alas an
David mengangguk-anggukan kepalanya, “ok lain kali jangan diulang lagi, dan kalo misalnya ngga ada taksi kamu bisa telfon aku kan?” kata David dengan lembut
          Fania tersenyum, kekasihnya itu memang selalu mengerti keadaannya. Ia bahagia, setidaknya Tuhan tidak melenyapkan semua yang pernah ia miliki. Tapi Tuhan menggantinya dengan sosok yang memang berbeda.
“lanjutkan pekerjaan kamu,” ucap David dan berlalu


          Pertemua dengan Sisil yang tak terduga membuat Fania susah berkonsentrasi. Apa benar hanya Fania yang bersalah? Apa Fania tidak berhak marah, setelah semua pengorbanan yang dulu pernah ia berikan kepada sahabatnya yang kini menjauh. Apa memang pengorbanan itu tidak berarti lagi? Atau mereka telah menemukan orang baru yang jauh lebih mau berkorban? Benarkah? Lalu, apa yang sebenarnya mereka cari?


          Jam menunjukan pukul 12.15 saat yang tepat untuk makan siang. Fania berjalan menuju kantin bersama beberapa rekannya. Ketika ia sedang mencari meja yang kosong, David menghampirinya.
“lagi nyari meja ya?” Tanya David
“iya nih, penuh banget” sahut Fania
          David menarik tangan Fania agar mengikutinya.
“eh,” cletuk Fania
“ikut aku deh,”
          Fania pun menurut. Mereka berdua berjalan menuju meja yang terletak diujung. Cukukp jauh memang, tapi pemandangannya jauh lebih asri membuat pengorbanan ini terasa sepadan.
          David berhenti pada sebuah meja yang telah ditempatioleh seorang perempuan. Parasnya tidaklah asing bagi Fania, ia benar-benar bertemu dengan orang itu. Waktu yang dinantinya pun telah dating. Saat ini, ya. . . .saat ini.
“sorry nunggu lama,” ucap David seketika
          Perempuan itu menatap David, kemudian beralih menatap Fania cukup lama. Sampai akhirnya David buka suara lagi.
“kenalin put, dia Fania pacar kakak,” David beralih ke Fania, “dia Putri, adik aku.”
          Putrid dan Fania sama-sama terdiam, namun mata mereka masih beradu. David yang tidak mengerti arti dari saling diamnya mereka memilih mencolek Putri. Dengan bahasa isyarat ia menyuruh Putri agar berkenalan dengan Fania.
“kita udah kenal kok, iya kan Fania” kata putri cuek
“i. . ..iya” sahut Fania gugup
“yaudah kalian ngobrol-ngobrol aja dulu, aku mau pesen makanan bentar.” Ucap david sambil berlalu
“udah lama ya ngga ketemu, gimana kabar lo?” Tanya putrid
“baik, lo gimana?”
“yaaaaa, kayak yang lo liat, ngga banyak yang berubah.”
Fania menatap Putri, “lo ngga marah sama gue?”
Putrid mengangkat bahunya, “entahlah, gue ngga tau gue benci sama lo apa ngga. Yang jelas gue nyesel.”
“sorry atas perkataan gue dulu. Bertahun-tahun gue nyari lo semua buat minta maaf, tapi ngga satu orangpun gue temui. Gue sadar gue terlalu…”
“jangan bahas itu lagi!!kalo lo mau curhat tentang semua dosa lo, mending jangan sama gue. Gue pingin ngelupain yang dulu pernah terjadi,” sela putrid, nadanya meningkat satu oktaf
“termasuk ngelupain gue?”
“salah satunya, karena lo bagian inti dari kenangan itu. Jadi orang pertama yang harus gue lupain itu ELO!!”
          Fania terdiam, ia tidak tau apakah ia harus menjambak Purti dan mengacunginya pisau seperti yang ia lakukan pada orang yang melawannya dulu. Atau meminta maaf sampai bersujud dikaki putrid agar mau menerimanya kembali.
“ini makanannya, kelamaan ya?” kata david sambil menurunkan piring dari nampan yang ia bawa
“pantes banget loh kak,” sahut Putri yang bermaksud meledek David
“heh…”
“haha udah jadi OB aja sana,”
“apasih Put, udah nih makan biar ngga kerempeng. Fania tuh dimakan,”
          Fania mengangguk, dalam hatinya ia bersyukur David cepat kembali. Jika tidak mungkin saat ini ia telah banjir dengan air mata.
sukma w.

Wanita itu ‘Fania’ kini telah menyadari sesuatu. Hidup yang dulu terasa indah ternyata ngga mudah untuk ditakhlukan oleh dirinya. Dulu, mungkin ia seperti menggenggam api, ia bisa membuat api itu padam atau menjaganya agar tetap bertahan. Dulu, mungkin semua orang selalu mengikuti ucapannya. Dulu, mungkin ia dipuja oleh siapapun. Dulu, mungkin dia adalah putrid.
        Tapi kini ia menyadari satu hal, tak sellamanya ia dapat menggenggam api. Dan ketika saaat itu tiba, maka mimpi-mimpi yang telah dirajut dengan indah pun terpaksa sirna. Ini hidupnya, hidup milik seorang Fania.
XXXXX

        Sesuatu yang hilang membuat Fania tertahan dalam langkah. Disaat dia sedang bimbang dan kalut, tak ada lagi orang disampingnya. Semua hilang bersama musim yang berganti.
        Fania berdiri ditrotoar untuk menunggu taksi. Tak sengaja matanya menangkap sosok yang pernah ada dalam hidupnya.
“sil… sisil…”
Orang yang memiliki nama tersebut pun mencari sumber suara itu.
Fania tersenyum dan menghampiri orang tersebut
“ap . . . .”
“ngapain lo manggil gue?” Tanya Sisil sinis, memotong ucapan Fania
“gue Cuma. . . .”
“gue nyesel, nyesel banget kenal sama lo” Sisil membuang muka, kemudian melanjutkan kalimatnya “gue sama Putri bener-bener enek sama lo, ngerti?!”
Sisil bermaksud meninggalkan Fania. Namun dengan cepat Fania mencengkeram tangan sisil.
“sorry, gue juga nyessel sama kelakuan gue sendiri. Gue terlalu egois, gue. . . .”
Sisil terkekeh, “ok lo nyesel, tapi apa lo tau keadaan Lika setelah kejadian itu? Hah?!! Itu baru kasus Lika, belum yang lain-lain yang udah lo perbuat. Mikir dong!!”
“gue pikir ngga Cuma gue deh yang ngelakuin hal bodoh itu. Elo, Putri dan anak lainnya juga banyak yang terlibat” sahut Fania mencoba membela didi.
“ohh. . . jadi lo mau lari dari masalah lo dan ngelempar ke orang lain. Hebat banget yah lo, gue salut” ucap sisil pedas
        Fania terperanjat, orange yang dulu selalu menemani harinya, menemani candanya, kini berbalik menyudutkannya. Seakan bagai saksi dan terdakwa. Dan Fania menempati posisi sebagai terdakwa. Sungguh persahabatan yang luar biasa.


 
©shuckeiiyma