sukma w.

        Selasa siang dikelas XI IPS 3 terasa sangat panas dan pengap, apalagi siswa-siswanya sangat kurang memahami sopan santun. Sudah bukan rahasia lagi kalau anak IPS lebih terkesan ‘liar’ daripada anak jurusan IPA atau Bahasa.
        Namun bagiku sebenarnya semua jurusan itu sama. Kualitas dan mutunya itu tergantung yang tinggal didalamnya. Aku sendiri seorang guru Akuntansi yang sudah seminggu ini mengajar di SMA N Tendenan.
“Bagaimana, sudah selesai?” tanyaku saat kelas sudah mulai gaduh.
“Belummmmm,” koor semua siswa.
        Kali ini aku hanya menugaskan mereka mengerjakan LKS saja, sebab aku sudah lelah menerangkan panjang lebar sedang yang diberi pengertian malah mengacuhkanku.
Teet…teet…
        Bel tanda pergantian pelajaran berbunyi, aku pun menata bukuku dan membawanya keluar menuju kekelas selanjutnya. Sebelum keluar aku menyuruh mereka menyelesaikan semua tugas yang aku berikan dan dikumpulkan sebelum jam 7.
        Banyak anak yang mengeluh dengan peraturanku ini, tapi aku gurunya jika ingin nilai ya patuhilah peraturanku. Tujuanku hanya satu, menghilangkan sifat malas mereka. Selain itu dengan dikumpulkan tugas mereka, mereka akan berusaha menyelesaikan tugasnya dengan semaksimal mungkin. Entah itu dengan mengarang atau mencontek itu bukan masalah, yang penting mereka mau berusaha.
        Kelas XI IPS 5 yang aku masuki kali ini sedikit lebih tenang. Tapi bukan berarti semua berjalan dengan baik, ada sekitar 4 kursi kosong dipojok belakang. Aku dengar 4 anak itu sering membolos, kalau sudah banyak yang tau citra mereka kenapa 4 anak itu dibiarkan saja?
“Selamat siang ..” sapaku sambil berjalan menuju meja dan meletakkan bukuku.
“Sianggg pakk ..” sahut semua siswa.
        Aku tersenyum lalu mulai menjelaskan materi yang akan aku sampaikan. Setelah itu ku tuliskan rumus-rumus dalam materi hari ini di white board, tak lupa dengan beberapa contoh soalnya.
        Selesai menulis dan menjelaskan aku duduk kekursiku sambil memilih soal yang akan aku berikan kepada siswaku. Kegaduhan mulai terasa kembali tapi aku belum yakin semua siswa sudah menyalin apa yang aku tulis.
“Mas tolong hapuskan papan tulisnya ya, ngga dicatat kan?” ujarku sambil menyuruh seorang siswa yang duduk tepat didepanku.
“Yaah jangan pakk, belum selese”
“Iya pak jangan..”
“Laaah,”
Aku tersenyum, “Oh ditulis ya? Tulisan jelek kayak gitu masih aja dicontoh.”
        Materi kali ini adalah Kertas kerja bisa dibilang ini materi yang cukup rumit. Karena itu aku khawatir jika mereka tidak mencatat nantinya tidak akan bisa mengerjakan soal.
        Setelah 10 menit berlalu aku benar-benar menyuruh salah satu siswaku untuk menghapus white board. Kemudian ku tuliskan deretan soal sebagai latihan untuk mereka.
“Ada yang kurang jelas?” tanyaku
“….” Semua siswa terdiam
“Kalo ngga jelas Tanya aja,” kataku sambil mulai berkeliling untuk mengamati pekerjaan mereka satu per satu.
        Puas mengamati pekerjaan mereka aku memilih keluar kelas untuk sekedar menghirup udara segar. Selain itu juga bisa untuk menjernihkan pikiran yang mulai terasa seperti gulungan benang tak beraturan.
Lima menit kemudian aku masuk kembali kedalam kelas, “Sudah selesai?”
“belum…” jawab semua siswa.
        Ini adalah jawaban klasik yang selalu dikatakan siswa mengenai pekerjaan mereka. Sebenarnya aku tau tentu saja mereka belum selesai mengerjakan dalam waktu lima menit. Tapi aku hanya memberi semangat pada mereka secara tidak langsung. Dengan pertanyaan singkat itu, mereka yang belum mengerjakan bisa langsung tersadar dan mengerjakan tugasnya.
        Sudah 45menit aku berada dikelas ini, tiba-tiba saja empat orang anak laki-laki masuk kedalam kelas dengan wajah tanpa dosa. Ku tatap empat anak itu sampai duduk ditempat duduknya masing-masing.
        Aku merasa geram, tanpa salam, tanpa maaf, langsung saja berjalan melewatiku dan duduk dikursinya. Apa dia pikir aku ini robot? Anak-anak kurang ajar!
“Siapa yang yang menyuruh kalian berempat duduk? SIAPA?!” tanyaku dengan galak
        Kelas menjadi hening, hanya ada suara kertas dan bolpoin yang bergesek. Keempat anak itu pun memilih diam.
“Kalian berempat, maju kedepan. Sekarang!”
        Keempat anak itu maju dengan langkah malas dan tatapan sinis padakku. Mereka benar-benar membakar emosiku.
“Apa saja yang kalian lakukan selama pelajaran saya?”
“…..”
“Heh kalian punya mulut kan? Jawab!” kataku dengan nada lebih tinggi.
“Dari toilet pak,” sahut salah satu dari mereka.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, “Dari toilet sampai satu jam pelajaran, apa saja yang kalian lakukan disana? Berendam?”
“Hahahaha” seluruh siswa dikelas tertawa.
“Pak, yang penting itu kita udah dateng, Cuma masalah kecil aja ribet banget.” Ujar anak yang berpostur paling tinggi
“Dengar ya, kalau kalian tidak ingin mengikuti pelajaran saya itu tidak masalah, tidak apa-apa. tapi jangan harap kalian akan mendapatkan nilai.”
“huh, nilai? Ngga penting!” ucap anak yang memilliki poni panjang
“Baiklah, kalau begitu silahkan kalian keluar dari sini.”
“Dengan senang hati, terimakasih.”
        Aku menghela napas panjang, anak-anak jaman sekarang memang sudah banyak yang salah arah. Ngakunya biar gaul ngga taunya Cuma bikin susah diri sendiri. kalau sudah seperti itu apa yang bisa dibanggakan?
***
        Usai bel pulang Pak Najrudin selaku kepala sekolah memintaku untuk menemuinya. Aku tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya ingin ia katakan padaku, karena saat Bu Anindya menyampaikan pesan ini dia bilang Pak Najrudin sedang marah besar.
        Ku ketuk pintu ruangan khusus kepala sekolah, setelah kudengar kata ‘masuk’ kudorong pintu kayu ini.
“Selamat siang pak,” sapaku
“Siang,” sahut Pak Najrudin dengan wajah angker.
“Pak Panji Marello, apa anda tau kenapa anda saya panggil kesini?” lanjutnya.
Aku menggeleng, “Maaf, tidak pak”
“Anda sadar anda telah melakukan kesalahan?”
“Saya pikir saya tidak melakukan kesalahan apapun,”
“Membebaskan siswanya mengikuti pelajaran atau tidak itu suatu kesalahan. Tugas kita itu untuk mendidik anak-anak karena orang tua mereka percaya kita mampu, kita bisa, dan lebih berilmu.” Terang pak Najrudin
“Tapi anda dengan sangat enteng membebaskan mereka tidak mengikuti pelajaran anda, apa maksud anda?!” lanjutnya
Aku menghela napas, “Sekali lagi maaf pak, tapi anda tau kan saya seorang guru Akuntansi yang tentu saja sangat erat hubungannya dengan kenegaraan..”
“Justru itu, justru itu harusnya anda lebih tegas.” Potong pak Najrudin
“Maksud saya begini pak, saya membebaskan mereka mengikuti pelajaran saya atau tidak itu karena saya ingin tau seberapa besar Niat mereka terhadap pelajaran, dan seberapa besar keinginan mereka untuk belajar. Kalau mereka memang berniat ingin menjadi orang yang Pandai, mereka pasti lebih memilih mengikuti pelajaran saya.”
“Pak Panji, sebagai pembimbing harusnya anda bisa mengontrol anak didik anda sehingga ia mau mengikuti pelajaran anda, dengan cara apapun,”
“Maaf pak, ini SMA. Bukan SD, mereka sudah nalar dan tau apa yang sebenarnya menjadi tujuan mereka. Jadi biarkan saja mereka memilih apa yang menjadi keputusan mereka. Toh pada akhirnya mereka sendirilah yang akan menanggung akibatnya.”
“Pak, kalau untuk sekolah saja mereka harus dipaksa bagaimana keadaan masa depan bangsa kita? Apa mereka juga harus dipaksa untuk menjadi pengurus Negara? Bukan sembarang penguru Negara, tapi pengurus Negara yang bijaksana dan bertanggung jawab. Dan saya rasa itu belum ada dalam diri mereka. Saya hanya mencoba menyadarkan mereka, itu saja.” lanjutku
“….”
“Baiklah pak, jika sudah tidak ada yang ingin dibicarakan saya permisi dulu.”
        Aku keluar dari ruangan kepala sekolah dengan napas lega. Setidaknya aku sudah menyampaikan seluruh argumenku, jika nantinya pak Najrudin tidak menerimanya maka itu konsekuensiku. Berbuat baik memang tidak selalu berbuah baik. Namun setidaknya dengan berbuat baik aku tidak akan takut dengan apa yang akan terjadi padaku nantinya.
        Membuat perubahan memang terasa berat, apalagi perubahan dari perbuatan yang sudah menjadi tradisi. Rasanya tugas guru tidak hanya memberikan ilmu dan menilai. Adakalanya guru memberikan pelajaran diluar itu, seperti rasa tanggung jawab, kedisiplinan, dan sopan santun. Dimana pelanggarnya tidak hanya diberi poin atau ceramah panjang. Namun sebuah tindakan yang bisa membuat mereka sendirilah yang sadar dan mengerti. Sebab perintah dan paksaan bukanlah suatu hukuman yang dapat membuat mereka jera.



@DearestSukma
©sukmaGR34T