sukma w.

 

Jam menunjukan pukul 02.30 pagi dan aku masih belum mengantuk. Bukan karena kebanyakan minum kopi, tapi karena membaca cerita bersambung yang sangat menguras emosi.

 


Aku paling tidak suka dengan tokoh utama yang lemah, menye-menye dan pasrah-pasrah saja dengan kehidupan. Rasanya terlalu konyol, terlalu memuakkan. Apalagi ada tokoh antagonis yang toxic dan manipulatif. Sebuah jalan cerita yang membuatku gemas. Tapi entah kenapa meskipun cerita itu menyebalkan aku tetap penasaran. Dan yaa aku tidak bisa pergi tidur sebelum menyelesaikan cerita itu.

 

Di dunia ini aku pun bertemu tokoh-tokoh jahat yang memuakkan, membuatku ingin mengumpat setiap melihatnya. Tokoh-tokoh jahat itu benar-benar ada. Orang manipulatif itu benar-benar nyata.

 

Seseorang yang memutar kata untuk terlihat paling menyedihkan. Seseorang yang mengganti fakta agar terlihat paling baik. seseorang yang mengarang cerita untuk membuat orang lain tampak buruk. Ahh betapa mengerikannya orang-orang yang aku temui.

 

Rasanya bagaimana mungkin aku bisa percaya pada orang lain. Jika orang yang kukenal cukup lama, orang-orang yang cukup dekat denganku hatinya penuh kegelapan. Tapi tenanglah, aku tidak akan sudi dekat-dekat dengan orang yang seperti itu. Aku sudah membuat benteng yang cukup aman bagi diriku sendiri.

 

Meski aku tetap harus berteu orang seperti itu, meski aku tetap harus tersenyum, dan meski aku harus berpura-pura tidak tau apapun.

Kenapa hidup ini penuh dengan kepalsuan? Jika saja orang-orang itu sejenis kecoa sudah pasti akan mudah untukku mengusirnya. Ahh tidak, lebih tepat untuk menyingkirkannya selamanya.

 

Seseorang sering mengeluh padaku jika ia terus disakiti, tapi ia terus bertahan tanpa ada niatan untuk meninggalkannya. Katanya manusia bisa berubah, ia hanya memberi kesempatan. Bukankah Tuhan saja Maha Pemaaf? Dan yaa sayangnya dia bukan Tuhan.

 

Ia terus bertanya padaku kapan semua ini berakhir? Kapan orang itu berubah? Aku selalu menjawab “Sampai akhir, sampai kematiannya.”

 

Tapi ia terus tidak puas dengan jawabanku, ia masih terus bercerita tentang rasa sakitnya dan membuatku mengerang karena muak. Untuk apa tetap bertahan berada di dekat orang yang selalu membuatnya tampak buruk di hadapan orang lain.

 

“Pergilah, atau buat orang jahat itu pergi.” Kataku.

Dia menatapku bingung, aku tidak paham mana yang kurang jelas dari ucapanku.

“Bagaimana caranya?” ia bertanya kembali.

“Membunuhnya. Tusuk, santet, atau apapun.”

“Bukankah itu dosa?”

Aku mengangguk, “Kau bilang sudah tidak tahan dengan semua ini bukan? Satu-satunya cara adalah dengan menyingkirkannya selama-lamanya. Dengan begitu kau tidak akan disakiti.”

Dia menerawang, “Tapi itu dosa, bagaimana jika masuk Neraka?”

Aku mendengus, “Haha jika kau ingin masuk surge maka bersabarlah. Nikmati saja ujian hidup ini, mungkin orang itu adalah salah satu perantara untukmu masuk ke Surga. Tapi jika kau sudah tidak sabar, jangan bunuh diri. Kau tidak pantas mati, biar orang jahat itu saja.”

“Apa tidak ada cara lain?” tawarnya.

Aku menggeleng, “Orang jahat itu tidak bisa berubah, meski kau mati sekalipun.”

 

Dia termenung, aku hanya menatapnya dalam diam. Aku tau dia ditakdirkan untuk menjadi orang baik, jadi aku cukup yakin ia tidak akan pernah memilih Neraka sebagai tujuan hidupnya.