sukma w.

        Menjadi guru ‘junior’ memang melelahkan tapi mengesankan. Apalagi untuk guru SMA, para siswa sudah mulai menilai tanpa berpikir lebih jauh. Mereka sering membanding-bandingkan guru, bahkan ada juga yang sampai minta agar gurunya diganti.
        Karakter manusia itu berbeda-beda, pembawaannya pun begitu. Tapi siswa lebih memedulikan guru yang humoris dibanding guru yang berilmu tinggi.
        Aku duduk diruang khusus guru sambil mendengarkan kisah-kisah para guru saat mengajar dikelas. Sesekali aku tersenyum dan mengangguk sopan.
“Kalo Mas Panji udah ada pengalaman apa nih di kelas? Ngajar anak-anak yang udah bukan anak-anak lagi itu enak kan?” tanya Pak Dino tiba-tiba dengan nada bercandanya yang khas.
“Aduh jangan-jangan udah ada yang nyantel nih,” sahut Pak Pram bersamaan dengan senyum jenakanya.
“Hehe Pak Dino sama Pak Pram bisa aja. Kalo pengalaman sih, saya juga masih belajar.” Sahutku sekenannya.
Pak Pram melirikku, “Halah kamu ini, tapi jadi guru muda di SMA itu enak kan?”
“Itu sih Pak Pram, dulu itu Pak Pram jadi guru masih 20 tahunan. Saking nyamannya ngajar SMA liat murid-murid dari yang bening sampe keriting, sampe lupa nikah tuh. Jangan ditiru loh Mas.” Ujar Pak Dino
“Yaa habis belum nemu yang cocok mau gimana lagi,” sahut Pak Pram enteng.
Aku tersenyum menampakkan deretan gigiku, “Enak ngganya belum kerasa sih pak, tapi soal jodoh itu saya belum mikir itu dulu.”
Pak Dino menggeleng-gelengkan kepalanya, “Jodoh itu kayak PR, namanya PR tapi bisa dikerjain kapan aja dan dimana aja. Tapiii inget, ada deadline nya yaa? Yasudah saya kekelas dulu, sudah bel.”
“Iya Pak, sebelumnya makasih masukkannya.” Kataku
Pak Dino mengacungkan jempolnya keatas padaku  sambil berlalu, sedangkan Pak Pram sedang berdiri didekat jendela dengan mata melotot pada anak-anak yang ribut diluar.
Akupun berdiri dan mengambil buku cetak tebal bertuliskan EKONOMI disampulnya. Kemudian berjalan meninggalkan kantor guru.
Menjadi Guru favorit merupakan penghargaan yang tak ketara. Namun itu adalah hal langka, kebanyakan guru itu dibenci. Apalagi jika esoknya ada ulangan, biasanya siswa mulai berharap jika gurunya sakit atau terkena musibah. Sadis memang, tapi yaa aku pernah mengalaminya dulu semasa menjadi siswa SMA.
“Selamat siang..” sapaku sambil duduk menuju meja guru
“siangggg..”
Aku menatap wajah-wajah para siswaku, “Hari ini ulangan ya, simpan semua buku kalian dan siapkan selembar kertas.”
        Kelas XI IPS 1 yang kumasuki saat ini mulai riuh namun tetap menuruti perintahku. Aku tersenyum maklum. Menjadi siswa SMA adalah hal yang paling berkesan, dimana rasa kesadaran mulai tumbuh namun keliaran juga turut mengikuti.
        Masa dimana masih ada aturan dan sanksi, biasanya siswa mulai berpikir bahwa tidak menaati peraturan adalah hal yang keren, adalah hal yang berani. Para guru biasanya akan member sanksi untuk para pelanggarnya, tapi bukannya takut siswa malah merasa tertantang. Jiwa liar mereka merasa diuji.
        Lalu saat kuliah aturan-aturan sekolah yang diharuskan semuanya berseragam lengkap itu tidak lagi ada. Maka jiwa liar itu mulai mencari tantangan baru seperti mengikuti gank motor atau ikut tawuran. Sebenarnya jiwa liar itu selalu ada, bahkan sampai tua. Imajinasi untuk menentang dan memberontak.
“Kerjakan sendiri-sendiri, yang ketauan mencontek nilainya dibagi dua,” seruku setelah selesai membagikan soal.
“Iyaa pak,”
        Aku berdiri dibelakang kelas sambil mengawasi siswaku yang mulai berusaha mengerjakan soal. Aku tersenyum tipis mengingat bahwa dulu aku juga sempat menjadi bagian dari mereka, melalui hari yang melelahkan sampai akhirnya menjadi seperti ini. Tentu saja semua ini tak pernah ku bayangkan sebelumnya.

@DearestSukma
©SukmaGR34T
0 Responses

Post a Comment