Adakah yang lebih romantis dari sekedar gerimis? Berjalan
berdua dibawah payung yang sama, menikmati melodi klasik dari sang pencipta.
Gerimis sore ini membuat hampir semua orang malas bepergian.
Aku pun terpaksa keluar rumah untuk mencari Danu, sepupu laki-lakiku yang masih
berusia 7 tahun. Ibunya dengan gelisah memintaku untuk mencarikan anak semata
wayangnya itu.
Taman Impian. Sebuah taman sederhana dikompleks perumahan
kami yang hampir tidak pernah sepi. Ada pohon mahoni tepat dibelakang nama
taman tersebut, dibawahnya terdapat gundukan pasir yang biasa digunakan
anak-anak untuk bermain. Jungkat jungkit, ayunan, seluncuran, dan banyak
permainan lain yang turut meramaikan isi taman. Di ujung Timur terdapat pendopo
kayu yang biasa digunakan untuk menikmati fasilitas hotspot 24 jam.
Entah kenapa gerimis kali ini mampu membuat orang-orang
enggan berburu wifi gratis. Hanya ada satu orang di pendopo, sosok yang sangat
familiar. Bukan, bukan, dia bukan Danu. Tapi sesosok perempuan yang sedang
melamun menatap gerimis. Aku memutuskan untuk berjalan mendekat, memastikan
siapa perempuan tersebut.
“Arini..” ucapku kemudian setelah melihat wajahnya
Perempuan yang ku panggil Arini justru membuang muka, seakan
enggan menatap mataku.
“Kamu baik-baik saja kan?” tanyaku
“Kenapa perpisahan selalu menyakitkan,” lirih Arini, namun
masih dapat ku dengar.
“Ar……”
“Apa ngga ada kata lain, selain ‘kamu terlalu baik buat aku’ ?” potong Arini, kini matanya
menerawang ke langit.
“Panji…”
“Ya..?” sahutku
Arini menatapku dengan mata sembabnya, “Kamu tau ngga
caranya buat ngelupain seseorang?”
Aku terkekeh pelan, “Haha Arini aku itu guru Ekonomi
Akuntansi, tanyalah cara menghitung pajak, laba, atau bunga. Jangan yang aneh-aneh.”
Bibir Arini tertarik sedikit, dia tersenyum. Senyum yang
dulu selalu terbayang disetiap hariku, senyum yang dulu selalu ku nanti dan ku
tunggu. Dulu.. iya dulu, tepatnya saat masa putih abu-abu yang kelabu.
“Aku pikir aku sama Edo udah sama-sama dewasa. Tapi gimana
bisa dia ninggalin aku pake alasan yang ngga masuk akal?” keluh Arini
“Udah sama-sama dewasa bukan berarti ngga ada masalah,
Negara ini aja dipimpin dan dikuasai orang dewasa tapi ngga berarti adem ayem
aja kan?” kataku sambil duduk disebelah Arini.
Arini memasang tampang cemberut, “Lagi patah hati gini malah
disamain sama Negara, susah ya ngomong sama guru akuntansi.”
Aku menggeleng pelan sambil tersenyum, “Dulu waktu kuliah
semester satu aku tinggal dikontrakan bareng kelima temanku. Awalnya semua
biasa aja, aku ngerasa cocok sama mereka. Pergi bareng, pulang bareng, ada
masalah dilalui bareng-bareng. Mereka anak-anak teladan, selalu dapat IPK
diatas 3,8. Setiap kali aku ngga bisa ngerjain tugas, mereka selalu bantuin.”
“Nji.. kok kamu malah curhat sih,” potong Arini
“Dengerin dulu..”
“Iya, iya,”
“Apapun mereka selalu bantuin aku. Sampai pada suatu titik
dimana aku mulai menyadari, mereka terlalu baik buat aku. Yaa seperti yang kamu
tau, aku bukan anak yang rajin atau anak yang cerdas dan teladan. Aku anak
biasa-biasa aja yang masih mencari jati diri. Lambat laun aku mulai risih, ngga
enak, dan sungkan.”
“Pada akhirnya aku milih untuk pindah dari kontrakan itu,
bukan karena apa-apa. Tapi karena mereka terlalu baik buat aku. Ada rasa
khawatir jika masanya nanti aku hanya menjadi beban untuk mereka dan yaa masih
banyak rasa-rasa khawatir yang lain.”
“Gitu ya nji? Jadi aku terlalu baik buat Edo? apa aku perlu
jadi orang jahat?”
“Sebenernya arti lain dari kalimat itu adalah ‘kita udah
ngga satu ideologi’ beda sudut pandang.”
“Huh.. Cowok didunia ini sama aja.”
“Kayak anak kecil aja kamu Rin, inget umur jangan galau
mulu.” Ucapku sambil menjitak kepalanya.
Arini mengaduh, “Ihh ngeselin amat sih, aku bilangin sama
murid kamu nanti. Lagian kamu ngapain tiba-tiba muncul disini..”
Secara reflek ku tepuk jidatku, “Yaampun aku kan kesini mau
nyari Danu,”
Arini tertawa lepas. Aku terpana untuk beberapa detik.
Sudahlah.. yang lalu biarlah menjadi masa lalu. Hidup ini terlalu singkat untuk
bertahan pada satu penantian. Biar saja semua berjalan adanya, jika mungkin
pasti kan ada titik temunya.
“Aku pergi dulu ya Rin, jangan nangis lagi..” ucapku
tersenyum sambil berjalan cepat keluar dari taman.
Gerimis sudah berhenti. Ku putuskan untuk kembali kerumah
dulu, barangkali Danu sudah sampai
dirumah.
Sepanjang jalan kerumah banyak anak-anak yang sedang
berlarian di gang kompleks. Mereka tertawa lepas, meski tidak jarang berujung
pada tangisan. Tapi percayalah esok hari mereka akan bermain bersama lagi.
“Pelangi.. pelangi..” teriak anak-anak, jarinya
menunjuk-nunjuk ke langit.
Aku mengikuti arah jari anak-anak tersebut. Benar saja,
warna warni pelangi membentang dilangit. Seolah lukisan yang tergambar
dilangit, indahnya ciptaan Mu.
Apa memang harus selalu begini? Harus ada hujan agar dapat
melihat pelangi?
Post a Comment