sukma w.


Pagi ini awan mendung sudah menyelimuti penjuru kota. Musim yang harusnya berganti tidak kunjung hadir, hingga menanti hujan rasanya seperti menanti hadiah terindah dari Tuhan.

Kali ini semua orang sibuk berdoa untuk turun hujan. Masih 15 menit lagi bel berbunyi, anak-anak dengan asiknya duduk diemperan kelas sambil menerawang ke langit. Sesekali dari mereka berlarian seolah menantang hujan untuk mengguyurnya. 

Kadang, aku ingin kembali merasakan menjadi salah satu dari mereka. Menikmati dunia seolah selamanya kan seperti itu. Tanpa beban.. bebas..

“Pagi.. mas Panji,” sapa mba Sekar yang baru saja memasuki ruang guru
“Pagi mba,” sahutku, “lhoo dari mana mba? Kok basah kuyuh begitu?” tanyaku
Mba Sekar meringis, “Tadi di jalan udah hujan duluan..”
“Wahh padahal disini masih ditunggu-tunggu,” kataku
“Oiya mas gimana kemarin hasil seleksi beasiswanya?”

Tes.. tes..

Butiran-butiran bening dari langit mulai turun perlahan-lahan. Bunyi yang khas dari air yang menabrak genting begitu jelas, bau tanah yang basah pun mulai memasuki indra penciumanku. Sorak sorai anak-anak diluar terdengar begitu bahagia, seakan telah menyaksikan kelahiran seorang bayi.

Aku tersenyum tipis atas pertanyaan mba Sekar, “Gagal..”
Mba Sekar menatapku prihatin, “Mungkin memang belum saatnya mas, kan masih ada tahun depan.”
“iyaa..”
“Seperti kata pepatah nih mas, banyak jalan menuju Roma. Saya yakin mas Panji bisa, Cuma masalah waktu aja. Cepat atau lambatnya.”
“Jalannya sih banyak, tapi yang lewat juga banyak. Kadang macet, kadang kehabisan bensin, kadang ada ban bocor, dan yaa kendalanya juga banyak.”
“Ihh mas Panji nih, baru usaha dikit aja nyerah”
“Mas Panji kenapa?” tanya Pak Dino yang tiba-tiba duduk di samping mejaku
“Nggapapa kok pak, Cuma soal beasiswa itu.” Sahutku
Pak Dino terlihat bersemangat, “Ooo.. terus gimana, kamu lolos kan?”
“Sepertinya bukan rezeki saya pak,”
“Walahh mas Panji ini, baru di tolak beasiswa aja udah loyo gini kayak orang patah hati. Move on!” ujar pak Dino
“Haha mas Panji kan orangnya ambisius pak, maunya selalu jadi yang ter- ter- “
“Itu sudah menjadi sifat manusia, selalu ingin jadi yang terbaik dan terbisa dalam segala hal. Wajar saja, Cuma intropeksi dirinya jangan lupa.” Kata pak Dino
“Menerima, merelakan, dan mengikhlaskan. Itu poin penting supaya kamu bisa lebih memaknai hidup. Ya sudah, saya mau ke kelas dulu.” Lanjut pak Dino
“Sebenarnya bukan karena saya ingin jadi yang terbaik atau ter-apapun. Tapi saya lebih ke ingin orang tua saya bangga melihat saya,”
Mba Sekar tersenyum, “Dari semua yang sudah mas Panji lakukan, orangtua udah bangga. Dan sesekali ngga papa nunjukin sisi kemanusiaan mas Panji, bahwa mas Panji masih manusia biasa yang ngga sempurna dan memiliki kekurangan.”

Aku mengangguk kecil, meresapi setiap kata demi kata yang sudah mba Sekar dan pak Dino ucapkan.

Kadang aku lupa melihat kebelakang, lupa darimana aku berasal. Lalu ketika aku mencoba melihat kebelakang, aku baru menyadari jika pencapaian ini sudah sangat luar biasa.Aku sudah memiliki pekerjaan tetap, memiliki pendapatan tetap. Dibanding orang-orang diluar sana, hidupku lebih baik. Seperti kata pak Dino, merelakan, menerima, dan mengikhlaskan.

Ketika ambisi begitu kuat. Tapi hasil tidak sesuai harapan ada baiknya menengok ke belakang sebentar.
Siapa aku?
Mungkin inilah standar yang telah Allah ciptakan untukku. Dengan segala kekuranganku, berada di titik ini merupakan anugerah terbaik dari Allah.
0 Responses

Post a Comment