Penyesalan terbesar seorang guru adalah ketika
melihat anak didiknya gagal. Meskipun pada dasarnya kegagalan seorang murid
bukanlah kesalahan guru, namun mencerdaskan adalah amanah untuk para guru. Sehingga
sudah semestinya guru dan murid saling bekerjasama untuk mencapai tujuan dari
adanya pendidikan.
Pagi ini seorang wali murid tergesa-gesa masuk ke
dalam ruang guru. Ia seorang ibu paruh baya dengan tubuhnya yang subur, tangan
kanannya menenteng tas tangan dengan brand yang sulit ku ingat. Lengannya
dipenuhi dengan gelang-gelang besar serta mencolok, tidak lupa jemarinya
terdapat cincin batu akik yang besar.
‘terlalu glamour’ batinku
Dengan gayanya yang angkuh ia mulai berbicara
setengah berteriak, “Mana yang namanya pak Manji Marello?”
Aku berdiri dari dudukku, “Saya bu, apa ada yang
bisa saya bantu?”
Ibu tersebut berjalan menuju mejaku, gelangnya
ikut berbunyi tiap kali ia mengibaskan tangannya. Setelah sampai di depanku ia
langsung duduk sambil menatapku sinis.
“Ohh ini Pak Panji Marello, masih kecil ya?”
ucapnya dengan nada mengejek
Aku tetap berusaha tersenyum, “Maaf, ada apa ya
bu?”
“huhh.. langsung aja ya, sebenarnya saya sibuk
tapi saya tetap tidak terima dengan perlakuan mas Panji terhadap anak saya,” ucap ibu tersebut dengan penuh
penekanan ketika menyebut namaku.
“Kalau boleh tau siapa nama anak ibu?” tanyaku
lagi
Ibu itu melengos, “Saya ibunya Nanda, saya ingin
protes tetang anak saya. Bisa-bisanya kamu membuat anak saya tidak naik kelas.”
Aku tersenyum kecut, “Maaf bu tapi saya sudah
berusaha sebisa mungkin untuk membuat anak ibu dapat mengikuti semua pelajaran
dengan baik. Namun hasil akhirnya tetap tergantung pada kemauan anak ibu untuk
belajar dan berusaha.”
“Heyy! Anak saya bilang kalau nilai Ekonominya
selalu jelek karena harus dibagi dua. Huh kalau begitu terus mana ada anak yang
dapat nilai bagus.” Bentak ibunya Nanda
“Maaf bu, tapi itu konsekuensi dari apa yang sudah
Nanda lakukan. Saya sudah bilang pada semua anak jika ada anak yang ketahuan
mencontek maka nilainya akan dibagi dua. Bukan apa-apa bu, saya hanya melakukan
tugas saya saja.”
Ibunda Nanda sedikit terkejut, tapi untuk menahan
gengsinya ia tetap marah, “Pokoknya saya ngga mau tau, saya mau anak saya naik
kelas!”
“Bu…”
“Harus!” potong ibunda Nanda, tangannya menggebrak
mejaku membuat semua orang menatap ke arah kami.
Pak Najmudin yang mengetahui hal ini pun datang
menemuiku dan ibunya Nanda. Dengan langkah yang tegap dan berwibawa, beliau
berdiri disampingku.
“Maaf bu, ini sekolah bukan pasar. Kita semua
orang berpendidikan bukan?” ujar pak Najmudin
“Tapi pak, gara-gara guru ini anak saya tidak naik
kelas. Malu saya pak, saya pikir anak saya tidak sebodoh itu.” Sahut ibunda
Nanda, jari telunjuknya diacungkan tepat ke wajahku.
Pak Najmudin tersenyum ramah, “Saya tau perasaan
ibu, rasa sedih ataupun malu itu wajar-wajar saja. Tapi bukan berarti ibu bisa
menyalahkan orang lain. Sebaiknya sekarang ini ibu lebih peduli dan ikut
mengawasi cara belajar nak Nanda, supaya tahun depan bisa lebih baik.”
“Lagipula yang mengajar nak Nanda kan tidak hanya
mas Panji, dia hanya wali kelas bu. Yang berhak memberi nilai ya pengampu
masing-masing mata pelajaran.” Lanjut pak Najmudin
“Tapi pak saya kasian sama Nanda, dari kemarin dia
sedih terus. Ngga mau makan, ngga mau keluar kamar. Saya jadi nelangsa litanya
pak.”
Pak Najmudin tersenyum kembali, “Nah itu tugas
anda, mengembalikan senyum Nanda dan lebih memperhatikan perilakunya. Tugas
kami hanya sampai di gerbang sekolah ini, selebihnya kami tidak bisa terus
mengawasi anak-anak kami yang sudah tidak terhitung jumlahnya.”
“Guru itu hanya membantu tugas orang tua, bukan
menggantikan. Seperti anak saya yang ingin jadi dokter, saya suruh dia kuliah
di kedokteran karena saya tentu tidak akan mampu mengajarinya sendiri. Tapi
bukan berarti semua tugas saya untuk mengajari anak saya hilang, tidak. Tugas
saya tetap ada, hanya saja untuk yang tidak bisa saya lakukan sendiri saya
meminta bantuan pada pihak lain. Jadi ketika anak saya sukses itu karena adanya
bantuan dari pihak lain. Tapi ketika anak saya gagal, itu karena kelalaian saya
untuk lebih memperhatikannya.” Lanjut pak Najmudin
“Maafkan saya pak, mas Panji. Sepertinya memang
sayalah yang kurang memperhatikan Nanda. Saya permisi dulu..” ujar ibunda Nanda
sambil menunduk, berjalan keluar dari ruang guru.
Aku menghela napas panjang. Ahh hidup ini harus
berkaca. Benar kata Pak Najmudin, guru hanyalah membantu.
“Terimakasih pak,” kataku kemudian
Pak najmudin menoleh padaku, “Untuk apa? Saya
hanya menyampaikan kebenaran.”
Aku menerawang ke langit-langit kantor,
“Sebenarnya inilah yang dari dulu saya khawatirkan. Saya takut membuat anak
didik saya gagal, saya takut membuat mereka seakan tidak memiliki masa depan
karena kesalahan saya, saya takut saya tidak cukup pandai dalam menyampaikan
materi hingga mereka tidak paham, saya takut….”
“Pak Panji..” ucapan Pak Najmudin memotong
kalimatku, aku menoleh
“Takut itu wajar, anda tau dokter? Dia bahkan
berhubungan dengan hidup dan mati seseorang. Tetangga saya seorang dokter
spsialis dalam, suatu hari dia melakukan operasi. Lalu ternyata pasiennya
meninggal. Seluruh keluarga pasien menyalahkan dokter tersebut karena tidak mau
menundanya dan tetap melakukan operasi. Lalu menurut anda bagaimana perasaan
dokter tetangga saya itu?”
“Merasa bersalah?” kataku dengan lugu
Pak Najmudin tersenyum, “Tentu saja, tapi bukan
berarti setelah itu dia akan menutup tempat prakteknya. Bahkan dokter itu ikut
datang melayat dengan muka terangkat, karena yaa memang profesinya menuntut
untuk demikian.”
“Saya mengerti pak,” sahutku kemudian
“Bagus! Bersemangatlah..” ujar pak Najmudin sambil
berlalu dari mejaku
Aku merenung kembali, semua pilihan memiliki
resiko. Aku hanya perlu meminimalisir dari resiko-resiko tersebut, berusaha terbaik
dari yang baik. Memang, tidak ada suatu hal pun yang tanpa konsekuensi. Bahkan
ketika dulu aku memutuskan untuk mengambil pendidikan yang lebih tinggi pun aku
memiliki konsekuensi untuk jauh dari keluarga.
Konsekuensi menjadi anak perantauan demi meraih
cita-cita dan masa depan yang lebih baik. Memang awalnya tidak mudah,
melepaskan zona nyaman yang begitu indah. Kaki ini begitu berat untuk melangkah
meninggalkan kota kelahiran. Namun jika aku memilih untuk tetap tinggal,
konsekuensinya aku tidak dapat meraih cita-citaku. Bukankah konsekuensi kedua
lebih buruk?
Post a Comment