Liburan semester merupakan waktu yang tepat untuk berlibur.
Sayangnya meskipun semua siswa libur namun tugas para guru tidaklah ikut libur.
Seperti sekarang ini, aku ditugaskan untuk membantu penerimaan siswa baru.
Melihat wajah-wajah polos nan lugu sedang berbaris mengantri,
cukup untuk menghibur kami para guru. Kami sangat berharap pada wajah-wajah
itu, berharap mereka dapat menjadi penerus yang berguna kelak. Generasi baru
merupakan cerminan masa depan.
“Pemimpin
yang ideal itu seperti apa?”
“Pemimpin
yang jujur, dapat dipercaya, tegas sesuai porsinya, dan lebih mementingkan
kepentingan bangsa daripada kepentingan pribadi.”
“Lebih
mementingkan kepentingan bangsa daripada kepentingan pribadi? Kedengerannya
lucu..”
Sepenggal kalimat seniorku dulu yang masih ku ingat. Aku
tersenyum tipis. Lucu? Yaa pemimpin yang ideal itu tidak ada. Seperti Larutan
kimia, tidak ada yang ideal di bumi ini. Dan siswa pun tidak akan pernah ada
yang ideal, apalagi guru.
Berhentilah mencari yang ideal, tapi pilihlah yang terbaik.
Yang terbaik dari yang baik, itu lebih baik.
“Mas Panji, denger-denger sekolah kita bisa nerima lewat jalur
dalam ya?” tanya mba Sekar sambil berbisik
Aku tersentak dan menatapnya sepersekian detik, “Hah? Siapa
yang bilang? Saya pikir pak Najmudin bukan orang yang seperti itu.”
“Saya ngga bilang pak Najmudin, semua guru bisa melakukannya
kan?”
“Bisa saja, tapi tindakan itu sangat tidak pantas dilakukan
oleh seorang pendidik.” Sahutku kemudian
“Dulu saya dengar pak Pram pernah melakukan itu,” ujar mba
Sekar
Aku pura-pura sibuk dengan kertas dimejaku, “Yaa mungkin itu
Cuma masa lalu. Semua orang punya cerita masa lalu yang buruk bukan?”
Membicarakan kejelekan seseorang bukanlah kesukaanku, karena
bagiku semua orang memiliki alasan ketika bertindak. Jadi aku pikir meski pak
Pram benar-benar pernah melakukannya, pasti ada alasan khusus ketika melakukan
hal tersebut.
“Apa impian mas Panji?” tanya mba Sekar tiba-tiba
“Impian?” aku mengerutkan kening tidak mengerti
“Yaa sebagai guru kita sering menanyakan pada siswa mengenai
impian mereka. Padahal belum tentu kita pun paham dengan impian kita sendiri.
Jadi apa impian mas Panji?”
Apa impianku? Ahh aku rasa aku memiliki segudang mimpi yang
cukup untuk ku pendam sendiri. Sebuah mimpi yang hanya akan tetap menjadi mimpi.
Sebab ketika impian dan realita bertemu maka aku mulai ragu akan jadi seperti
apa impianku kedepannya.
“Mendidik siswa dengan baik,” sahutku asal
Mba Sekar tertawa kecil, “Susah ya mas?”
Kugaruk rambutku yang tidak gatal, “Kadang impian harus tetap
dibiarkan menjadi mimpi,”
Mba Sekar menggeleng, “Kita punya pilihan untuk
merealisasikannya atau tetap diam membiarkannya diangan-angan. Mas tau ngga
impian saya itu jadi model. Tapi orang tua saya ngga setuju, dan akhhirnya saya
tetap jadi model kan?”
“Model kelas,” ucapku sambil tertawa
“Haha yaa itupun cukup. Mas beneran ngga punya mimpi apa
gitu?”
“Mimpi saya itu banyak, saya sampe bingung sendiri. Tapi saya
memang berniat jadi guru kok.”
Mba sekar mengangguk-anggukan kepalanya.
“Suatu saat nanti saya sih pingin nulis buku yang berisi teori
atau apapun itu yang berhubungan dengan akademik. Tapi rasa-rasanya saya masih
butuh waktu, ilmu saya belum cukup mba.”
“Wahh bagus mas, saya bahkan belum punya impian sehebat itu.
Impian yang cara meraihnya dengan tahap demi tahap pasti lebih berkesempatan
terwujud. Mas suka nulis?”
Aku mengangguk kecil, “Saya suka menulis apa saja yang ingin
saya tulis, hanya sebatas itu sih. Belum punya pengalaman apapun.”
“Tapi mas suka melakukannya kan? Itu udah lebih dari cukup.
Karena ketika kita menyukai sesuatu, maka kita bisa hidup dengan sesuatu itu
pula.” Kata mba Sekar sambil tersenyum lebar
Aku pun balas tersenyum sambil menyusun kembali kertas yang
berada dimejaku. Mimpiku, entahlah meskipun nantinya akan terwujud ataupun
tidak itu tidak terlalu penting. Aku suka menulis, menulis apapun yang ingin ku
tulis dan itulah duniaku. Maka apapun yang terjadi aku tidak bisa berhenti
menulis, sebab ketika aku berhenti duniaku pun terhenti.
@DearestSukma
©SUKMAGR34TS
Post a Comment