sukma w.



Indahnya Kuliah

Semasa kuliah biasanya dosen-dosen bercerita tentang pekerjaan apa yang kelak akan jurusan kami kerjakan. Tentu saja mereka menceritakan hal-hal baik, menjanjikan dan penuh impian. Melambungkan harapan indah tentang masa depan profesi yang nantinya kami miliki. Memberi motivasi merupakan salah satu fungsi  dosen, membuat kami merasa berarti dan memiliki segunung harapan.

Entah kenapa seringnya harapan berbeda dengan kenyataan. Profesi yang kami miliki tidak seindah kalimat dosen dikampus. Terutama bagi yang bekerja di rumah sakit akan terasa perbedaan berada didunia jurusan kampus dan didunia luar.

Didunia nyata ini, rumah sakit merupakan usaha dalam bidang pemberi jasa kesehatan. Tidak lepas dari teori ekonomi, rumah sakit pun membutuhkan imbalan jasa yang menguntungkan. Apalagi rumah sakit swasta yang notabene tidak mendapat kucuran dana dari pemerintah. Semua infrastruktur, fasilitas, sampai gaji karyawan hanya bersumber dari pasien.


Rumah Sakit

Menjadi karyawan disebuah rumah sakit swasta yang masih berkembang memiliki tantangan tersendiri. Tidak lagi kami difokuskan dengan ilmu dan teori-terori keren pada jurusan kita dikampus. Income lah yang menjadi suatu inti dari keberadaan kami memeberi pelayanan. Jika berdasarkan teori dikampus dalam sehari kami (satu ft) hanya bisa menangani 8 sampai 10 pasien, maka kenyataannya berkali-kali lipat. Sayangnya fakta ini hampir terjadi disemua rumah sakit.

Finansial ? sepertinya gaji karyawan  masih standarlah, tidak jauh berbeda dengan karyawan pabrik. Bahkan bisa lebih besar karyawan pabrik yang banyak lemburannya. Yang membedakan hanyalah kami bekerja untuk manusia hidup yang memiliki perasaan, emosi, dan pikiran. Satu lagi, manusia yang memiliki keluhan.

Rumah sakit, kenapa bukan rumah sehat ? tentu karena didalamnya berisi orang-orang sakit. Setiap orang yang datang selalu membawa penyakit baik yang menular maupun yang tidak menular. Tidak ada yang menjamin bahwa penyakit yang dibawa pasien ke rumah sakit tidak meninggalkan jejak. Mungkin saja jejak itu masih berterbangan diudara, menempel ditembok, atau mengendap pada bantal. Ahh siapa yang tau.


Tenaga Kesehatan

Menjadi tenaga kesehatan yang terpapar terus menerus dengan orang sakit tentu memiliki risiko. Namun ini merupakan pilihan, kewajiban, dan panggilan hati. Memberi secarik harapan dan impian pada pasien adalah hal terindah yang bisa kami lakukan.

Bukan perkara mudah, kami menempuh pendidikan bertahun-tahun dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Bisa dibilang jurusan kesehatan merupakan salah satu jurusan dengan biaya kuliah yang mahal dibanding disiplin ilmu lain. Setelah wisuda kami masih harus mengikuti uji kompetensi agar dapat kewenangan untuk menyentuh pasien, yang mana harus diperpanjang setiap 5 tahun. Salah satu syarat perpanjang dengan melampirkan sertifikat seminar/workshop ber-SKP yang sekali acara biayanya ratusan ribu hingga jutaan.

Inilah investasi yang sesungguhnya. Berbuat baik dan terus menuntut ilmu.


Terapi Tradisional

Megingat panjangnya hari yang kami lalui dalam mendapatkan pendidikan, mengecek puluhan juta rupiah yang kami bayarkan setiap tahun untuk menuntut ilmu, mengenang ingatan sedih saat harus jauh dari keluarga demi mendapatkan kewenangan melakukan tindakan fisioterapi. Dengan mudahnya seseorang tanpa basic pendidikan fisioterapi, meng klaim dirinya seorang fisioterapis yang mampu melakukan tindakan fisioterapi.

Terapi itu artinya pengobatan. Mengonsumsi obat sama saja terapi, terapi medikamentosa. Hemodialisa adalah terapi, terapi cuci darah bagi penderita gangguan ginjal. Bagi profesi terapi seperti sangkal putung, pijat, atau herbal tanpa pendidikan fisioterapi cukup tulis ‘TERAPI’ bukan Fisioterapi.



BPJS


Keuangan masih menjadi masalah yang vital. Sejak Juli 2018 BPJS tidak lagi mengcover tindakan fisioterapi tanpa adanya advice dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi. Ini seperti goncangan besar bagi profesi fisioterapi yang mana sebelumnya pasien dapat diberikan tindakan fisioterapi hanya dengan advice dari dokter spesialis mana saja (yang ditunjuk).

Bebagai upaya dilakukan oleh organisasi profesi. Keterbatasan jumlah dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi menjadi suatu tantangan tersendiri. Rumah sakit yang belum memiliki dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi tidak mendapatkan claim bpjs sehingga biaya dibebankan pada pasien, hal tersebut meningkatkan kejadian pasien rehabilitasi yang drop out.

Sedangkan rumah sakit yang sudah memiliki dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi untuk bisa mendapatkan pelayanan fisioterapi dengan bpjs harus menggunakan alur melalui rujukan puskesmas/dokter keluarga (rujukan TK1),  lalu ke RS menemui dokter spesialis yang berhubungan dengan penyakit untuk konsultasi dan mendapatkan obat, hari berikutnya dilanjutkan menemui dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi yang mana bpjs hanya mencover 2x seminggu atau 8x sebulan tindakan rehabilitasi medik yang mencakup fisioterapi, okupasi terapi, dan terapi wicara.


Akreditasi

Fisioterapi memiliki wewenang untuk melakukan anamnesis, pemeriksaan, melakukan tindakan, dan mengevaluasi. Karena tidak termasuk dalam kejadian yang berisiko tinggi, sepertinya KARS tidak begitu sempat untuk memasukkan dalam elment penilaian SNARS edisi 1. Memang untungnya tidak masuk elment penilaian adalah tidak perlu membuat banyak laporan, panduan, dan segala tentang akreditasi. 

Kekurangannya tentu fisioterapi menjadi kurang diperhatikan oleh menejemen rumah sakit. Salah satu yang paling jelas adalah alur pasien fisioterapi yang diabaikan oleh bagian lain, seolah fisioterapi hanyalah pelengkap pelayanan.


Fisioterapi

Sekilas apa yang terjadi di lahan seperti bukanlah sebuah masalah. Namun jika dikaji dengan membuka kembali PMK 65 tahun 2015 dan  PMK 80 tahun 2013 dapat ditarik kesimpulan bahwa saat ini kewenangan profesi fisioterapi ditekan. Pembatasan kewenangan penanganan pasien terasa lebih nyata ketika muncul peraturan baru yang bertentangan dengan PMK yang mengatur fisioterapi.

Belum lagi penggunaan nama fisioterapi yang seolah mulai disamarkan. Dalam peraturan BPJS 2020 kata terapi fisik seolah menunjuk pada profesi fisioterapi, sedangkan profesi lain dituliskan secara jelas. Padahal jika yang dimaksud adalah tenaga keterapian fisik maka kata tersebut sudah mewakili tiga profesi yaitu fisioterapi, terapi wicara dan okupasi terapi. Mungkin hanyalah perihal nama, tapi bukankah nama merupakan sebuah identitas?

Seperti yang semua orang awam tau, dalam sebuah rumah sakit hanya ada 2 jenis tenaga kesehatan yaitu dokter dan perawat. Profesi fisioterapi hadir diantara keduanya dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan, tindakan, sampai edukasi dan dokumentasi secara mandiri. Belakangan ini menjadi kontroversi, melihat besarnya peluang yang menjadi-jadi. Ada sebagian kepentingan yang ingin menguasai, dengan menekan dan membatasi. Aspirasi organisasi profesi, tidak didengar lagi. Pertemuan dengan institusi, seperti tidak terjadi.

Sebuah profesi bukan hanya sesuatu yang menyangkut dengan materi, tapi juga dengan hati. Semoga kelak profesi ini akan lebih jauh berkembang lagi, agar keberadaan kami semakin berarti.

Bergerak.. Bermanfaat.. Bermartabat..

Labels:
0 Responses

Post a Comment