sukma w.
       Aku masih belajar, tentu saja. Semua orang pun begitu, setiap detik dan setiap langkah yang kita lewati adalah pelajaran. Tapi cara belajarnya berbeda dengan soal UN. Kalo ujian sudah tentu ada simulasi dan contoh-contoh pembahasannya, namun dalam hidup kadang apa yang dipilih hari ini akan berbeda hasilnya ketika kita menundanya atau mendahuluinya.
“Permisi Pak..” kata kedua orang murid yang sedang berdiri didepanku.
“Iya, ada apa?” sahutku
“Pak kita pingin les sama bapak. Bapak bisa ngga?” Tanya anak yang berambut panjang
Aku menatap mereka dengan teliti, “Sama saya?” tanyaku sedikit ragu.
“Iya pak, bisa kan?” ujar anak yang berjilbab.
“Mmm, ya bisa diusahakan. Tapi hari Jumat saja ya?” kataku
“Oh iya pak ngga papa. Makasih pak.”
       Aku mengangguk, kemudian kembali melanjutkan langkahku menuju kelas XI IPS 4 yang berada diujung koridor. Sesekali aku membalas senyum siswa yang berlalu-lalang didepanku. Rasanya belum lama aku melepas seragam putih abu-abuku, tapi sekarang aku telah menjadi guru mereka.
        Kadang aku merasa belum pantas menjadi pembimbing ataupun pengajar. Sebab untuk membimbing dan mengajari diriku sendiri saja aku masih belum cukup berhasil. Lalu apa aku mampu menjadi sosok panutan bagi siswa-siswaku?
“Selamat siang..” sapaku sembari memasuki kelas
“Siang..”
       Sengaja tidak ku ucapkan dengan kata ‘selamat siang anak-anak’ sebab bagiku mereka bukanlah anak-anak lagi. Sebentar lagi mereka akan menjadi mahasiswa atau bekerja mandiri, yang artinya tidak ada lagi panggilan anak-anak untuk mereka.
Kuedarkan pandanganku pada seisi kelas, “Ada PR?”
“Kalau tidak ada kita lanjutkan materi selanjutnya” lanjutku.
       Para siswa mulai membuka buku mereka dan beberapa masih sibuk dengan dunianya. Ahh apa istirahat selama 20 menit itu masih kurang, hingga saat pelajaranpun masih sempat bergurau.
“Pak, no. 32 halaman 125 gimana caranya ya? Saya belum mengerti.” Seru seorang siswa yang duduk dibangku tengah
       Aku selalu berusaha menjelaskan semampuku, berharap siswaku akan paham dan mengerti. Sebuah penyesalan besar seorang guru adalah  jika ada salah satu siswa yang tidak paham dengan materinya. Aku pun kadang merasa demikian, merasa bukan seorang guru yang baik.
       Tapi semua guru akan selalu berusaha mewariskan ilmunya sebisa mungkin. Guru yang baik itu cara mengajarnya seperti angkutan umum. Ketika ada siswa yang belum paham maka berhenti dulu dan menjelaskan lagi. Lalu ketika dirasa semua sudah jelas barulah mulai berjalan lagi. Janganlah mengajar seperti ambulan yang tidak mau berhenti sedikitpun. sebab ambulan memiliki sirine dan strobo, sedang para siswa tidak. Siswa akan semakin tidak paham jika penjelasan gurunya terlalu cepat dan singkat.
“Caranya seperti halaman sebelumnya, juga nomer 10. Itu dikalikan dulu 100. Bisa kan?” ucapku.
“Ohh, iya maksih pak.”
       Tanpa guru, tidak akan ada dokter, tidak ada hakim, pengacara, perawat, ataupun pejabat. Tapi rasa-rasanya profesi ini sering terabaikan. Siswa yang pandai kebanyakan memilih profesi sebagai pejabat atau ilmu murni. Sedangkan yang biasa-biasa saja malah menjadi guru. Bukankah seharusnya pendidik bangsa itu adalah sosok-sosok terpilih yang kecerdasannya tidak diragukan lagi? Yahh lagi-lagi ‘materi’ menjadi pertimbangan.


©SukmaGreat

@DearestSukma
0 Responses

Post a Comment