sukma w.

*ditulis tahun lalu, baru inget wkwk


Pandem covid-19 belum juga usai, tentu kelak hari ini akan menjadi catatan sejarah dan masuk dalam deretan jurnal yang menghiasi perpustakaan nasional. Benar, semua sektor kehidupan terkena imbas. Terlalu percaya diri jika ada yang merasa diuntungkan oleh suatu musibah.

Berkali-kali pemerintah mengeluarkan kebijakan, berlembar-lembar peraturan baru masih belum mampu menekan angka kematian dan penyebaran covid. Ini menjadi PR pemerintah yang sangat panjang, belum lagi gesekan-gesekan politik yang membuat semuanya semakin simpang siur. Sebagai masyarakat biasa hal tersebut justru membuat resah dan kebingungan. Ditambah lagi adanya korupsi dana bansos, masyarakat semakin jauh dengan pemerintah.

Ah itu semua bukan ranahku untuk berkomentar, aku hanya salah satu masyarakat yang terkena dampaknya. Salah satunya dalam pekerjaanku, rencananya tahun ini Ujian Nasional kembali ditiadakan dan digantikan dengan Assesment Nasional. Sesuatu yang baru selalu terasa meresahkan, para gurupun harus kembali belajar tentang peraturan baru ini.

Meskipun tidak tatap muka, proses belajar dan mengajar tetap harus dilakukan. Virtual dengan zoom, classroom, maupun whatsapp grup tetap berjalan sesuai jadwal. Hari-hari selalu berkutat dengan smartphone, belum lagi mengikuti webinar untuk menambah ilmu. Rasanya semua ini mulai membosankan.

Drrt.. Drtt..

Ponselku bergetar pertanda ada pesan masuk.

   Pengirim: Mbak Sekar

    Mas nanti kondangan ke Mbak Ayu jam 10 kan?

Ada satu kegiatan yang seolah tidak terpengaruh dengan adanya covid ini, tentu saja kondangan. Setiap bulan selalu saja ada undangan pernikahan, tidak lupa dengan pertanyaan andalan orang-orang “kapan nyusul?”.

   Penerima: Mbak Sekar

   Iya mbak, kumpul sama yang lain di perempatan garuda.

 

   Pengirim: Mbak Sekar

   Oke

 

Jam menunjukkan pukul 8.30 aku mulai bersiap-siap berangkat, pagi ini Bara-guru baru kesenian-mengatakan ingin menjemputku. Usianya dua tahun lebih muda dariku, bisa dibilang seumuran dengan Mbak Sekar. Kulitnya putih, hidungnya mancung, tingginya 170cm lebih pendek 7cm dariku, dan yaaa kami sama-sama jomblo. Sungguh ironis.

“Mas ada temannya di depan,” ucap bude sambil melongok kamarku yang pintunya terbuka.

Aku mengangguk dan berpamitan.

“Saya mau kondangan dulu ya bude.”

“Iya hati-hati.” Sahut bude yang ikut mengantarku ke teras depan.

Bara yang menungguku di teras ikut berpamitan. Kami memasuki mobil Bara, Masserati berwarna hitam. Tentu bara bukan orang biasa, namanya Lembara Pradipta Djanoe. Cucu dari Firman Djanoe pemilik Djanoe grup, bisnisnya bermacam-macam mulai dari realestate, penyewaan alat berat, sampai mediamasa. Sayangnya Bara tidak suka berbisnis, dia menyukai musik.

“Ini kondangan pertamamu di kota ini?” tanyaku membuka obrolan.

“Iya mas hehe, gue ngga tau jalan nih.” Sahutnya sambil membetulkan dasi.

Aku mengangguk-anggukan kepalaku, “Pantes.. Rapih banget.”

“Jalannya lurus aja sampai pertigaan ke sekolah ambil kiri, lurus nanti ada perempatan garuda.” Lanjutku.

Bara mengenakan setelan tuxedo lengkap dengan dasi dan bunga kecil di dada kanannya. Untuk ukuran kondangan di rumah bukan gedung, penampilannya tentu terlalu rapih. Bisa dibilang saingan dengan mempelai pria pengantin.

Bara tertawa, “Abis kalo pake batik kayak mau kerja mas. Bosen.”

Aku ikut tertawa, “Jangan salahin orang-orang kalo ngira kamu pengantinnya.”

“Sial, pacar aja gue ngga punya mas.”

“Lagian kamu kenapa pilih tinggal disini?” Sahutku.

Bara menghela napas, “Gue pingin bebas mas, capek diatur-atur mulu. Masa depan gue kan yang jalanin juga gue, orang lain sih Cuma liat enaknya aja.”

“Karena lebih suka musik?” tebakku.

“Salah satunya,” Bara membelokkan mobilnya ke kiri.

“Lainnya masih banyak. Lo eh Mas Panji pernah bayangin nggak hidup yang ngga punya pilihan? Semua udah direncanakan sama orang lain, seolah-oleh orang itu Tuhan.”

“Itu perempatan garudanya kan?”

Aku menangguk tanpa sempat menjawab rentetan kalimat Bara, ia langsung membelokkan mobilnya dan menemui teman-teman yang lain. Kali ini kami janjian dengan guru-guru muda dan yang merasa muda, sisanya memilih pergi dengan pasangan atau keluarga kecilnya. Pak Dino misalnya, beliau terpaksa mengikuti rombongan muda ini karena istrinya belum lama melahirkan.

“Heleh.. Heleh.. Para jomblo berangkat bareng, mau bikin klub jomblo?” Celetuk pak Dino pada kami berdua

“Halo calon mertua, dede Alesha sayangku mana?” sahut Bara pada Pak Dino.

Pak Dino memukul pundak Bara, “Guendeng! Ndak mau saya punya mantu kayak kamu.”

Bara tertawa renyah, “Hehe kurang apa lagi coba gue? Ganteng, tajir, setia. Apalagiyang kurang?”

“Kurang waras Pak Bara,” Sahut Mbak Sekar yang baru datang.

“Nahh itu.. itu.. Mbak sekar mending sama mas panji aja, mas bara ndak usah ditemenin.” Ujar pak Dino.

Kami tertawa bersama, bara hanya tersenyum kecut.

Pak dino yang sedang sibuk dengan handponenya tiba-tiba berseru, “hoalah puancen juancuk arek-arek iki.”

“Ditungguin malah udah pada berangkat duluan. Mobil saya sama motor mbak sekar tinggal sini aja ya, kita berangkat bareng pake mobil Bara. Jangan lupa atapnya dibuka.” Lanjut pak Dino.

Mbak sekar menepuk pundak pak Dino, “Sabar pak.. Udah yuk kita berangkat.”

Mobil Bara melaju membelah jalanan, seperti kemauan pak Dino atap mobil diturunkan sehingga semua orang bisa melihat pengemudi dan penumpang mobil. Bara dan pak Dino mengenakan kacamata hitam, mereka berdua tampaknya memang cocok satu tipe. Aku duduk di bangku penumpang belakang dengan mbak sekar.

“Mas kok saya malu ya,” bisik mba sekar padaku, wajahnya ia tutupi dengan kipas lipat

“Sama mbak, berasa tontonan.” Sahutku.

“Kayaknya mas bara sama pak dino cocok deh jadi mertua dan menantu.”

Aku menaikkan satu alisku ke atas, “kenapa begitu?”

“Sama-sama aneh” sahut mbak sekar sambil terkikik geli. Akupun ikut tertawa.

 

0 Responses

Post a Comment