sukma w.
Sore ini taman kota cukup sepi. Mungkin karena mendung yang membawa hawa dingin atau mungkin juga karena Kamis sore.
            Alini duduk disalah satu kursi yang terletak disudut taman. Ia baru saja pulang dari kampus, terlihat dari banyaknya buku yang bertengger disampingnya.
            Seorang perempuan berjalan mendekati Alini, “kamu Alini kan?”
            Alini mendongak, ia sedikit memincingkan matanya. Mengalihkan pandangan dari laptopnya, “iya..”
            Perempuan itu tersenyum, “masih inget aku?”
            Dari nada suaranya dapat dipastikan perempuan itu sangat senang bertemu dengan Alini. Isyarat matanya memancarkan kerinduan.
            Alini memutar memori otaknya, sungguh ia tidak ingin mengecewakan perempuan itu. Namun sepertinya ia tetap tidak menemukan jawaban yang ia cari. Ia pun menggelengkan kepalanya dengan lemah.
            “aku Nadiva, jangan bilang tetep ngga inget.” Ucap perempuan yang bernama Nadiva sembari duduk disamping Alini.
            Alini menatap Nadiva tak percaya, “Yaampun! Sorry sorry kamu beda banget tau.”
            Nadiva tersenyum kecut, “semua orang bilang gitu, padahal kan Cuma fisik aja yang agak berubah. Tapi suara sama sifatku kan tetep sama.”
            “haha iya iya percaya dehh,” Alini mengamati Nadiva, “btw sekarang kamu sama siapa?”
            “masih kayak dulu, sama Evan.” Sahut Nadiva malu-malu.
            “Kita udah 4 tahun pisah dari lulus SMA dan kamu udah pacaran dari kelas XI, berarti….” Alini berfikir sebentar, “udah 6 tahun dong?”
            Nadiva mengangguk.
            “Hebat dehh, oh ya sekarang kamu kuliah dimana?”
            “Trisakti, kamu?”
            “UI, kalo Evan dimana?”
            “STMIK,” sahut Nadiva
            “sorry lama ya sayang,” ucap seorang lelaki bersama dua anak perempuan berseragam biru putih.
            “emmmm ini pasti Evan,” seru Alini
            Orang yang dipanggil Evan menengok lalu tersenyum, “Alini yaa?” Tanya Evan bersemangat, “eh kenalin ini sepupuku, baru kelas 8.”
            “Hay aku Alini,” sapa Alini sembari mengulurkan tangannya.
            “Aku Rora,”
            “Aku Vika,”
            Alini mengelus rambut Rora dan Vika, “Cantiknya..”
            “makasihh, kakak juga cantik” sahut Vika
            “iya, pacarnya siapa kak?” tanya Rora
            Evan mendelik, “Rora yang sopan.”
            Alini tersenyum, “Lagi kosong nih, cariin dong”
            “Gampang, temen Rora keren-keren loh,”
            “temen-temen Vika juga ngga kalah keren kok,”
            “Hussh mana mau kak Alini sama temen-temen kamu,” ujar Evan
            Vika dan Rora tersenyum menunjukan deretan gigi putihnya.
            “Tapi Lin, serius kamu ngga punya pacar?” sambung Nadiva
            “bukan ngga punya, tapi belum.” Ucap Alini membela diri.
“iya gitu deh maksudnya,”
“kenapa ngga cari kak?” tanya Vika
“Cinta itu kan ngga bisa dipaksa. Cinta ngga pakai kenapa dan karena, cinta cukup cinta. Tanpa syarat tanpa alasan,” komentar Evan
“Anak kecil kkok diajari cinta-cintaan,” sahut Nadiva
“Vika itu udah punya pacar loh kak, itu yang rumahnya diujung gang.” Ucap Rora yang langsung mendapat jitakan dari Vika.
“awwww kalo ngga dianggep ntar pacarnya ilang loh,” goda Rora
Vika cemberut, “kakakkk pulang yuk..”
“Lin…” panggil nadiva
Alini tersenyum tipis, “Aku masih nunggu dia,”
“yaudah kita mo pulang dulu nih Lin, dah sore..” kata Evan
“Iya hati-hati ya kalian..” sahut Alini sembari berdiri dari duduknya.
Roar dan Vika sudah masuk kedalam mobil, sementara Evan dan Nadiva masih berjalan sekitar 2 meter dari tempat alini berdiri.
            Tiba-tiba saja Nadiva berbalik lalu berkata dengan senyuman khasnya, “ada perasaan yang harus diperjuangkan, ada perasan yang harus diakhiri. Semua ada batasnnya.” Setelah mengatakan itu Nadiva kembali melanjutkan berjalan menuju mobil.

Kini tinggalah Alini sendiri, ia duduk ditempatnya semula. Pertemuan dengan sahabat lamanya membuat ia sadar akan sesuatu. Selama ini ia terlalu sabar menunggu, terlalu lama berharap.
“Aku berharap bisa melupakanmu, seperti aku melupakan apa yang telah aku pelajari sebelum ujian,” lirih Alini
Memikirkan masa lalu ternyata bisa membuat dehidrasi. Alini memasukan laptopnya kedalam tas, ia bermaksud mencari minum sekedar menghilangkan hausnya. Namun sebelum ia sempat beranjak, sebotol air mineral telah berada tepat didepannya.
“haus kan? Nih minum..” ucap sang pemilik botol tersebut.
Alini mendongak, penasaran dengan orang yang berbaik hati memberinya minum.
‘Deg’
Jantung Alini terasa berhenti berdetak, entah apa yang ia rasakan. Antar marah, kaget, rindu, membaur menjadi satu.
“Devin..” hanya itu kalimat yang keluar dari mulut Alini.
Orang yang bernma Devin tersenyum, “Ambil,” ucapnya sembari menarik tangan Alini kemudian menggenggamkan botolnya pada tangan kanan Alini.
Alini membisu, menatap botol yang ada pada genggaman tanganya. Kemudian ia meletakan botol itu dikursi dan beralih menatap Devin. Tanganya terangkat seakan hendak memeluk pemuda dihadapanya. Namun ia urungkan ketika mengingat kenyataan.
“Alini..” Devin menyentuh pundak Alini
Alini membuang muka, menatap lampu-lampu yang mulai dinyalakan pertanda hari mulai gelap.
“Aku lupa, kalo status kita hanya teman, tapi kalo aku mencintaimu apa salahnya?” ucap Alini seakan pada dirinya sendiri.
Devin terdiam, ia memilih duduk disamping Alini. Kepalanya ia tengadahkan keatas dengan mata terpejam, seakan menahan air mata.
“Beritau aku cara tercepat untuk melupakanmu, cara termudah untuk berhenti merindukanmu,” suara Alini mulai terdengar parau.
Perlahan Devin menatap Alini, “sampai saat ini kamu mungkin belum menyadari, bahwa kita hanyalah sepasang tangan yang ingin saling menggenggam, saling berpasangan.”
Tangis Alini semakin menjadi, dadanya terasa sesak. Rindu yang selama ini ia pendam sendiri telah ia tumpahkan semuanya.
“Bahuku tempat untuk bersandar, kapanpun kamu mau.” Ucap Devin. Ia menarik kepala Alini untuk bersandar dibahunya, sekedar untuk membagi rasa sakit yang selama ini perempuan itu rasakan.
“Maaf dulu aku terlalu percaya dengan omongan orang, sampai aku harus ninggalin kamu sendiri.”
Alini terus menangis, sementara Devin bercerita sembari mengelus rambut Alini, “Tapi sekarang aku kembali, kembali untuk memiliki hatimu lagi.”
Tangis Alini mulai mereda, ia seakan bermimpi, bertemu dengan orang yang selama ini singgah dihatinya.
“Will you be my girl friend?” ucap Devin
Seketika tubuh Alini membeku, ini adalah saat yang ia tunggu, yang selama ini ia harapkan. Jantungnya berdegup lebih cepat, seakan banyak kembang api didalamnya.
Dengan malu-malu Alini mengangguk sebagai jawabannya. Sementara Devin tersenyum dengan beribu-ribu bahagia.
Tak ada kata, tak ada suara. Hanya hati yang saling mengerti.

THE_END


@DearestSukma
©SukmaGR34T


0 Responses

Post a Comment