Menjadi
guru ‘junior’ memang melelahkan tapi mengesankan. Apalagi untuk guru SMA, para
siswa sudah mulai menilai tanpa berpikir lebih jauh. Mereka sering
membanding-bandingkan guru, bahkan ada juga yang sampai minta agar gurunya
diganti.
Karakter manusia
itu berbeda-beda, pembawaannya pun begitu. Tapi siswa lebih memedulikan guru
yang humoris dibanding guru yang berilmu tinggi.
Aku duduk
diruang khusus guru sambil mendengarkan kisah-kisah para guru saat mengajar
dikelas. Sesekali aku tersenyum dan mengangguk sopan.
“Kalo Mas Panji udah ada pengalaman apa nih di kelas?
Ngajar anak-anak yang udah bukan anak-anak lagi itu enak kan?” tanya Pak Dino
tiba-tiba dengan nada bercandanya yang khas.
“Aduh jangan-jangan udah ada yang nyantel nih,” sahut
Pak Pram bersamaan dengan senyum jenakanya.
“Hehe Pak Dino sama Pak Pram bisa aja. Kalo pengalaman
sih, saya juga masih belajar.” Sahutku sekenannya.
Pak Pram melirikku, “Halah kamu ini, tapi jadi guru muda
di SMA itu enak kan?”
“Itu sih Pak Pram, dulu itu Pak Pram jadi guru masih 20
tahunan. Saking nyamannya ngajar SMA liat murid-murid dari yang bening sampe
keriting, sampe lupa nikah tuh. Jangan ditiru loh Mas.” Ujar Pak Dino
“Yaa habis belum nemu yang cocok mau gimana lagi,” sahut
Pak Pram enteng.
Aku tersenyum menampakkan deretan gigiku, “Enak ngganya
belum kerasa sih pak, tapi soal jodoh itu saya belum mikir itu dulu.”
Pak Dino menggeleng-gelengkan kepalanya, “Jodoh itu
kayak PR, namanya PR tapi bisa dikerjain kapan aja dan dimana aja. Tapiii
inget, ada deadline nya yaa? Yasudah saya kekelas dulu, sudah bel.”
“Iya Pak, sebelumnya makasih masukkannya.” Kataku
Pak Dino mengacungkan
jempolnya keatas padaku sambil berlalu,
sedangkan Pak Pram sedang berdiri didekat jendela dengan mata melotot pada
anak-anak yang ribut diluar.
Akupun berdiri dan
mengambil buku cetak tebal bertuliskan EKONOMI disampulnya. Kemudian berjalan
meninggalkan kantor guru.
Menjadi Guru favorit
merupakan penghargaan yang tak ketara. Namun itu adalah hal langka, kebanyakan
guru itu dibenci. Apalagi jika esoknya ada ulangan, biasanya siswa mulai
berharap jika gurunya sakit atau terkena musibah. Sadis memang, tapi yaa aku
pernah mengalaminya dulu semasa menjadi siswa SMA.
“Selamat siang..” sapaku sambil duduk menuju meja guru
“siangggg..”
Aku menatap wajah-wajah para siswaku, “Hari ini ulangan
ya, simpan semua buku kalian dan siapkan selembar kertas.”
Kelas XI
IPS 1 yang kumasuki saat ini mulai riuh namun tetap menuruti perintahku. Aku
tersenyum maklum. Menjadi siswa SMA adalah hal yang paling berkesan, dimana
rasa kesadaran mulai tumbuh namun keliaran juga turut mengikuti.
Masa dimana
masih ada aturan dan sanksi, biasanya siswa mulai berpikir bahwa tidak menaati
peraturan adalah hal yang keren, adalah hal yang berani. Para guru biasanya
akan member sanksi untuk para pelanggarnya, tapi bukannya takut siswa malah
merasa tertantang. Jiwa liar mereka merasa diuji.
Lalu saat
kuliah aturan-aturan sekolah yang diharuskan semuanya berseragam lengkap itu
tidak lagi ada. Maka jiwa liar itu mulai mencari tantangan baru seperti
mengikuti gank motor atau ikut tawuran. Sebenarnya jiwa liar itu selalu ada,
bahkan sampai tua. Imajinasi untuk menentang dan memberontak.
“Kerjakan sendiri-sendiri, yang ketauan mencontek
nilainya dibagi dua,” seruku setelah selesai membagikan soal.
“Iyaa pak,”
Aku berdiri
dibelakang kelas sambil mengawasi siswaku yang mulai berusaha mengerjakan soal.
Aku tersenyum tipis mengingat bahwa dulu aku juga sempat menjadi bagian dari
mereka, melalui hari yang melelahkan sampai akhirnya menjadi seperti ini. Tentu
saja semua ini tak pernah ku bayangkan sebelumnya.
@DearestSukma
©SukmaGR34T
Post a Comment