Indahnya Kuliah
Semasa kuliah biasanya dosen-dosen
bercerita tentang pekerjaan apa yang kelak akan jurusan kami kerjakan. Tentu
saja mereka menceritakan hal-hal baik, menjanjikan dan penuh impian.
Melambungkan harapan indah tentang masa depan profesi yang nantinya kami
miliki. Memberi motivasi merupakan salah satu fungsi dosen, membuat kami merasa berarti dan
memiliki segunung harapan.
Entah kenapa seringnya harapan
berbeda dengan kenyataan. Profesi yang kami miliki tidak seindah kalimat dosen
dikampus. Terutama bagi yang bekerja di rumah sakit akan terasa perbedaan
berada didunia jurusan kampus dan didunia luar.
Didunia nyata ini, rumah sakit
merupakan usaha dalam bidang pemberi jasa kesehatan. Tidak lepas dari teori
ekonomi, rumah sakit pun membutuhkan imbalan jasa yang menguntungkan. Apalagi
rumah sakit swasta yang notabene tidak mendapat kucuran dana dari pemerintah.
Semua infrastruktur, fasilitas, sampai gaji karyawan hanya bersumber dari
pasien.
Rumah Sakit
Menjadi karyawan disebuah rumah
sakit swasta yang masih berkembang memiliki tantangan tersendiri. Tidak lagi
kami difokuskan dengan ilmu dan teori-terori keren pada jurusan kita dikampus.
Income lah yang menjadi suatu inti dari keberadaan kami memeberi pelayanan. Jika
berdasarkan teori dikampus dalam sehari kami (satu ft) hanya bisa menangani 8
sampai 10 pasien, maka kenyataannya berkali-kali lipat. Sayangnya fakta ini
hampir terjadi disemua rumah sakit.
Finansial ? sepertinya gaji
karyawan masih standarlah, tidak jauh
berbeda dengan karyawan pabrik. Bahkan bisa lebih besar karyawan pabrik yang
banyak lemburannya. Yang membedakan hanyalah kami bekerja untuk manusia hidup
yang memiliki perasaan, emosi, dan pikiran. Satu lagi, manusia yang memiliki
keluhan.
Rumah sakit, kenapa bukan rumah
sehat ? tentu karena didalamnya berisi orang-orang sakit. Setiap orang yang
datang selalu membawa penyakit baik yang menular maupun yang tidak menular.
Tidak ada yang menjamin bahwa penyakit yang dibawa pasien ke rumah sakit tidak
meninggalkan jejak. Mungkin saja jejak itu masih berterbangan diudara, menempel
ditembok, atau mengendap pada bantal. Ahh siapa yang tau.
Tenaga
Kesehatan
Menjadi tenaga kesehatan yang
terpapar terus menerus dengan orang sakit tentu memiliki risiko. Namun ini
merupakan pilihan, kewajiban, dan panggilan hati. Memberi secarik harapan dan
impian pada pasien adalah hal terindah yang bisa kami lakukan.
Bukan perkara mudah, kami menempuh
pendidikan bertahun-tahun dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Bisa dibilang
jurusan kesehatan merupakan salah satu jurusan dengan biaya kuliah yang mahal
dibanding disiplin ilmu lain. Setelah wisuda kami masih harus mengikuti uji
kompetensi agar dapat kewenangan untuk menyentuh pasien, yang mana harus
diperpanjang setiap 5 tahun. Salah satu syarat perpanjang dengan melampirkan
sertifikat seminar/workshop ber-SKP yang sekali acara biayanya ratusan ribu
hingga jutaan.
Inilah investasi yang sesungguhnya.
Berbuat baik dan terus menuntut ilmu.
Terapi
Tradisional
Megingat panjangnya hari yang kami
lalui dalam mendapatkan pendidikan, mengecek puluhan juta rupiah yang kami
bayarkan setiap tahun untuk menuntut ilmu, mengenang ingatan sedih saat harus
jauh dari keluarga demi mendapatkan kewenangan melakukan tindakan fisioterapi.
Dengan mudahnya seseorang tanpa basic pendidikan fisioterapi, meng klaim
dirinya seorang fisioterapis yang mampu melakukan tindakan fisioterapi.
Terapi itu artinya pengobatan.
Mengonsumsi obat sama saja terapi, terapi medikamentosa. Hemodialisa adalah
terapi, terapi cuci darah bagi penderita gangguan ginjal. Bagi profesi terapi
seperti sangkal putung, pijat, atau herbal tanpa pendidikan fisioterapi cukup
tulis ‘TERAPI’ bukan Fisioterapi.
BPJS
Keuangan masih menjadi masalah yang
vital. Sejak Juli 2018 BPJS tidak lagi mengcover tindakan fisioterapi tanpa
adanya advice dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi. Ini seperti
goncangan besar bagi profesi fisioterapi yang mana sebelumnya pasien dapat
diberikan tindakan fisioterapi hanya dengan advice dari dokter spesialis mana
saja (yang ditunjuk).
Bebagai upaya dilakukan oleh
organisasi profesi. Keterbatasan jumlah dokter spesialis kedokteran fisik dan
rehabilitasi menjadi suatu tantangan tersendiri. Rumah sakit yang belum
memiliki dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi tidak mendapatkan
claim bpjs sehingga biaya dibebankan pada pasien, hal tersebut meningkatkan
kejadian pasien rehabilitasi yang drop out.
Sedangkan rumah sakit yang sudah
memiliki dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi untuk bisa
mendapatkan pelayanan fisioterapi dengan bpjs harus menggunakan alur melalui rujukan
puskesmas/dokter keluarga (rujukan TK1),
lalu ke RS menemui dokter spesialis yang berhubungan dengan penyakit
untuk konsultasi dan mendapatkan obat, hari berikutnya dilanjutkan menemui
dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi yang mana bpjs hanya
mencover 2x seminggu atau 8x sebulan tindakan rehabilitasi medik yang mencakup
fisioterapi, okupasi terapi, dan terapi wicara.
Akreditasi
Fisioterapi memiliki wewenang untuk
melakukan anamnesis, pemeriksaan, melakukan tindakan, dan mengevaluasi. Karena
tidak termasuk dalam kejadian yang berisiko tinggi, sepertinya KARS tidak
begitu sempat untuk memasukkan dalam elment penilaian SNARS edisi 1. Memang untungnya
tidak masuk elment penilaian adalah tidak perlu membuat banyak laporan,
panduan, dan segala tentang akreditasi.
Kekurangannya tentu fisioterapi menjadi
kurang diperhatikan oleh menejemen rumah sakit. Salah satu yang paling jelas
adalah alur pasien fisioterapi yang diabaikan oleh bagian lain, seolah
fisioterapi hanyalah pelengkap pelayanan.
Fisioterapi
Sekilas apa yang terjadi di lahan
seperti bukanlah sebuah masalah. Namun jika dikaji dengan membuka kembali PMK
65 tahun 2015 dan PMK 80 tahun 2013 dapat
ditarik kesimpulan bahwa saat ini kewenangan profesi fisioterapi ditekan.
Pembatasan kewenangan penanganan pasien terasa lebih nyata ketika muncul
peraturan baru yang bertentangan dengan PMK yang mengatur fisioterapi.
Belum lagi penggunaan nama fisioterapi yang seolah mulai disamarkan. Dalam peraturan BPJS 2020 kata terapi fisik seolah menunjuk pada profesi fisioterapi, sedangkan profesi lain dituliskan secara jelas. Padahal jika yang dimaksud adalah tenaga keterapian fisik maka kata tersebut sudah mewakili tiga profesi yaitu fisioterapi, terapi wicara dan okupasi terapi. Mungkin hanyalah perihal nama, tapi bukankah nama merupakan sebuah identitas?
Seperti yang semua orang awam tau,
dalam sebuah rumah sakit hanya ada 2 jenis tenaga kesehatan yaitu dokter dan
perawat. Profesi fisioterapi hadir diantara keduanya dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan, tindakan, sampai edukasi dan dokumentasi secara
mandiri. Belakangan ini menjadi kontroversi, melihat besarnya peluang yang
menjadi-jadi. Ada sebagian kepentingan yang ingin menguasai, dengan menekan dan
membatasi. Aspirasi organisasi profesi, tidak didengar lagi. Pertemuan dengan
institusi, seperti tidak terjadi.
Sebuah profesi bukan hanya sesuatu
yang menyangkut dengan materi, tapi juga dengan hati. Semoga kelak profesi ini
akan lebih jauh berkembang lagi, agar keberadaan kami semakin berarti.
Bergerak.. Bermanfaat..
Bermartabat..
Post a Comment