Kemarau penjang terjadi lagi tahun
ini. Dipenghujung bulan September hujan belum juga turun. Debu-debu
berterbangan disepanjang jalan menambah beban kerja sistem pernapasan.
Meski musim tidak kunjung berganti
namun roda kehidupan akan terus berputar. Menggilas dan tergilas adalah hukum
alam, kadang berada diatas dan tak jarang berada dibawah. Tapi ada beberapa
orang spesial yang terus berada diatas seolah ia menghentikan roda kehidupan.
‘tintt……’
Suara klakson pengendara
dibelakangku ini membuyarkan lamunanku, lampu lalulintas sudah berwarna hijau.
Aku lekas memacu motorku menuju
sekolah dengan sedikit terburu-buru. Hari senin dijam sibuk pagi, kondisi
jalanan saat ini cukup ruwet. Jumlah kendaraan bermotor yang digunakan
masyarakat terus meningkat. Disatu sisi menandakan perekonomian masyarakat yang
terus meningkat. Namun disisi lain menyebabkan penumpukan kendaraan dan
kemacetan.
Jam menunjukan pukul 06.40 pagi, 5
menit lagi upacara bendera hari senin dimulai. Petugas upacara mulai menata
peserta upacara. Tampak di luar gerbang beberapa anak berlarian karena takut terlambat.
Upacara pagi ini sekaligus
perpisahan bagi Bu Anindya. Beliau akan dimutasi ke sekolah yang lebih dekat
dengan rumahnya. Selain sebagai guru, bu Anindya tetaplah seorang ibu yang
ingin dekat dengan anaknya yang sedang sakit.
Bu Anindya mengucapkan salam
perpisahan dan meminta maaf pada seluruh siswa, guru dan staf sekolah. Semua
berlangsung khidmat, samar-samar terdengar isak tangis dari beberapa siswa.
Diakhir kalimatnya Bu Anindya pun tidak kuasa menahan air matanya.
“Ibu berharap kalian tetap sehat
selalu. Beberapa tahun lagi kalian mungkin sudah menjadi polisi, dokter, guru,
atau apapun itu.. jadilah orang yang berguna. Jadilah orang yang bermanfaat.
Jangan pernah berpikir untuk memanfaatkan orang, apalagi orang yang kesusahan.
Samapai jumpa lagi nak. Ibu akan bertemu kalian lagi, saat kalian sudah menjadi
orang yang bermanfaat.” Ucap Bu Anindya menutup kata perpisahannya.
Aku memperhatkan Bu Anindya yang
berjalan menuruni mimbar upacara sambil tersenyum. Guratan wajahnya seolah
berkat ia enggan pergi, namun ia harus pergi. 17 tahun mengabdi di sekolah ini
tidak bisa dibilang sebentar. Jasa-jasanya selama berbagi ilmu disini akan
terus dikenang. Dikenang dalam kebaikan.
“Selamat untuk sekolah barunya bu,
semoga semakin sukses.” Ucapku sambil menyalami bu Anindya
Bu Anindya tersenyum sambil menepuk
bahuku, “Aamiin mas, besok kalo nikah jangan lupa undang saya yaa.”
“Kayaknya masih lama deh bu, Mas
Panjinya masih betah menjomblo” sahut mbak Sekar diselingi tawanya.
Aku melirik tajam padanya, tapi
sepertinya mbak Sekar tidak begitu mempedulikanku. Ia malah berjalan pergi
sambil menggandeng bu Anindya menuju kantor guru.
Semakin dewasa pertemuan dan
perpisahan seolah biasa saja, bukan perkara yang harus disesali atau ditangisi
berlebihan. Seperti angin di padang pasar yang memberikan kesejukan dan sesak
sesacara bersamaan.
Aku menatap langit yang berwarna
biru cerah dengan mentari yang setia menyinari bumi. “Apa mentari menyadari
jika dirinya sangat berguna? Meski kadang sinarnya membuat tidak banyak yang
mau mendekatinya. Dia tetap datang dan pergi sesukanya tanpa diminta.” Batinku.
“Apa yang spesial dari matahari?”
tanya Mbak Sekar yang tiba-tiba keluar kantor lagi
Aku terperanjat dengan kehadiran
Mbak Sekar.
“Hehe.. Maaf ngagetin ya mas.”
Lanjutnya.
Aku mengangguk-anggukan kepalaku dan
berkata, “Bukankah matahari memang spesial? Adakah yang tidak spesial darinya?”
Mbak Sekar menerawang, “Saya lebih
suka bulan, cahayanya indah dan menyejukkan. Dia datang diantara kegelapan
malam yang menakutkan. Selalu menenangkan.”
“Mbak Sekar pasti lupa.. tanpa
cahaya matahari, bulan hanyalah bola kosong yang gelap. Siapalagi selain
matahari yang mau memantulkan cahaya pada benda langit lain, agar benda langit
lain itu bersinar dan terlihat.” Ucapku.
“Saya rasa matahari tidak
benar-benar bermaksud membuat bulan bersinar. Itu hanyalah efek dari cahaya
matahari yang terlalu terang.” Sambung Mbak Sekar sambil berjalan menuju ruang
tata usaha.
Aku menatap punggung Mbak Sekar yang
kian menjauh dan berkata lirih, “Apa salahnya menjadi terlalu terang. Haruskah
matahari tidak perlu terbit lagi, agar orang-orang menyadari keberadaannya?”
Aku menerawang ke langit kembali.
Sepertinya mentari tidak begitu peduli dengan penilaian manusia. ia tidak
memusingkan arti keberadaannya, baginya bersinar adalah tugas serta bagian dari
sirinya. Ahh.. andai saja aku bisa setidak peduli itu dengan omongan orang.
Bu Anindya sudah berkemas untuk
meninggalkan sekolah ini. Beberapa guru bermaksud mengantarkannya sampai ke
tempat kerja barunya. Ini memang tradisi mutasi guru yang biasa kami lakukan,
mengantar untuk memberikan salam perpisahan. Kebetulan hari ini jadwal
mengajarku cukup padat, aku hanya bisa mengantar bu Anindya sampai pintu
mobilnya saja. Semoga kebahagian selalu menyertainya.
Post a Comment