Jika rekam medis merupakan catatan hati seorang
pasien. Kali ini akan melihat lebih jauh tentang orang-orang dibalik
tertulisnya rekam medis.
Preklinik yang dilaksanakan sejak tanggal 1 – 13 Agustus
2016 memberi bekas yang cukup dalam dihati. Sayang kalo disimpan sendiri.
Pada hari pertama rasa ragu, khawatir, takut, dan
deg-degan bercampur jadi satu tapi ngga semanis es campur. Bayang-bayang
tentang senior galak dan pasien-pasien jutek menghantui pikiran.
Meski bayangan-bayangan itu ngga 100% salah, tapi
masih banyak hal baru lain yang lebih menarik.
Pada hari pertama sudah dikatakan ‘mahasiswa preklinik hanya observasi, belum boleh menangani
pasien.’ Rasa lega karena ketekutan-ketakutan konyol itu pun hilang. Mahasiswa
preklinik akhirnya hanya mengikuti mahasiswa klinik yang mulai melakukan
tugasnya.
Namun pada hari kedua, mahasiswa preklinik mulai
bereksplorasi sendiri-sendiri. Demi menyelesaikan tugas SK (Status Klinik) dan
RPS (Rehabilitation Problem Solfing/ ICF) kami mulai mainan alat sendiri dan
mulai anamnesis pasien.
Prosedur rumah sakit yang sangat berbeda dengan
prosedur pemeriksaan di kampus cukup membuat takjub mahasiswa.
“Ohh ternyata gak seribet di kampus.”
Oke lupakan teori-teori dikampus, lupakan cara
pasang TENS dengan metode yang bervariasi dan keren-keren, lupakan dosis-dosis
mwd, lupakan prosedur assessment yang kadang bikin mabok, lupakan tes
sensibilitas, lupakan sterilisasi dan ya fokus aja sama kenyataan #ehh
Bagian yang paling disayangkan adalah mahasiswa
yang menangani pasien, tidak tau pasiennya. Begitu pasien masuk baru ditanya “Yang
sakit mana?” lalu kami memasang alat sesuai petunjuk pasien -___- ini konyol,
demi.
Karena begitu rahasianya seberkas catatan hati
seorang pasien, mahasiswa yang menangani pun tidak dapat membacanya sebelum
penanganan. Waktu setiap alat 10 menit merupakan pilihan terminimum, tentu saja
sesuai dengan anggaran RS mengenai pembiayaan listrik dan peralatan lainnya. Wajar.
Demi menyelesaikan tugas dan tututan kejar setoran
pasien, anamnesis dilakukan disela-sela terapi. Tanya-tanya seadanya, tes-tes
secukupnya, sisanya? Ilmu ngarang pun jadi :D
Yang kami sukai dari sini adalah kedisiplinannya
yang bagus, mulai dari dilaksanakannya briefing setiap jam 7.30 yang dilakukan
bersama Tim Rehab Medik yang terdiri dari Dokter Rehab, Fisioterapi, Okupasi
Terapi, serta Terapi Wicara.
*ohiya doctor strangers versi indonya udah ketemu
loh wkwkwk
Lalu mengenai pentingnya hand hygiene, setiap
selesai dan sebelum menangani pasien kami menjadi terbiasa melakukan hand
hygiene salah satunya karena contoh-contoh dari senior. Pewajiban penggunaan masker
ditempat-tempat tertentu juga menjadikan kami merasa lebih aman dari virus
maupun bakteri.
Entah pada hari keberapa setelah temanku memasang TENS pada pasien dia berniat melihat
catatan hati seorang pasien. Dan disana tertulis bahwa pasien adalah ODHA.
Teman yang lain mendapatkan pasien yang meminta dipasang tens pada punggung. Setelah
waktu tersisa 3 menit, pasien mengeluh pundaknya tidak dapat digerakkan. Pasien-pasien
‘pintar’ ini pun kadang sulit dimengerti, padahal setelah dilihat RM nya diagnosa
medisnya frozen shoulder.
Prosedur tanpa membaca RM memang memudahkan dan
menjadikan penanganan lebih cepat. Tapi efeknya pun ada kalanya tidak sesuai
dengan apa yang seharusnya.
Kejadian-kejadian konyol dan seru yang lain masih
banyak yang ngga sempet tertulis. Seperti adanya ikatan alayers Indonesia yang
baru saja digagas oleh mahasiswa yang pusing mikirin status pasien melulu
sampai lupa mikirin status sendiri #ehh
Ada juga senior-senior almet yang gak netral dan
bikin keki. Ngga semua sih, kemaren aja aku sempet ditraktir senior makan :D
berbeda-beda tetap fisioterapi :) |
Seruuu.. pokoknya 2 minggu penuh kejutan dan pengalaman. Cerita-cerita
sama pasien, berbagi ilmu sama kampus lain, dan perjalanan dari kosan ke RS
yang sensasional.
Dimarahin? Namanya
juga junior.
Masih bau kencur gini sih, nanti kalo udah bau uang
juga semua orang sungkan.
Jadikan motivasi aja untuk terus kedepan :)
Post a Comment