sukma w.
Hidup ini penuh pilihan, dalam setiap detik setiap langkah setiap tarikan nafas selalu ada pilihan. Bahkan ketika bangun pagi pun ada pilihan untuk tetap tidur meringkuk dibalik hangatnya selimut, atau bangun untuk menantang udara pagi dan menunggu mentari.

Usiaku baru 24 tahun, tapi entah kenapa setiap aku berkumpul bersama keluarga atau sekedar bertemu kerabat lama yang selalu mereka tanyakan adalah ‘kapan nikah?’

Bukankah aku memiliki pilihan untuk masa depanku sendiri? Kapan menikah? Pertanyaan itu seperti kalimat yang menohok, membuat jantungku seakan berhenti selama sepersekian detik. Aku belum berpikir untuk itu tapi semua orang.. arghh persetan dengan semua orang! Ini hidupku.


“Loh siang-siang gini kok wajahnya udah ditekuk mas Panji?” sapa pak Dino dengan senyuman khasnya.

Aku turut tersenyum, “Ngga papa pak, Cuma mikirin masa depan.”

Pak Dino melirikku jail, “Wahh masa depan. masa depan itu ya tinggal dijalanin, ngga usah dipikirin. tugas kita Cuma merancang tujuan. Masalah nantinya bakal gimana itu fleksibel, kondisional aja.”

“Hehe iya sih pak, tapi ya kadang tetep kepikiran pak.”

“Pak Dino, dicari pak Aji di TU..” ucap pak Pram sambil berjalan menuju mejanya.

“Iya pak makasih” sahut pak Dino, “saya duluan ya mas,”

“Oh iya pak..” kataku.


Sepergian pak Dino aku memilih membaca Koran yang tergeletak di meja tengah, ku bolak balikkan halamannya. Tapi tidak ada satupun berita yang menarik minatku untuk membacanya.

“Haloo mba Sekar,” sapa pak Pram dengan suara yang menggelegar.


Mba Sekar atau lebih cocok ku panggil dek Sekar? Dia guru baru yang mengajar matematika, usianya setahun dibawahku. Pertama kali melihatnya aku seakan terhipnotis untuk kembali ke masa lalu. Yaa dia sangat mirip dengan (mantan) kekasihku.

Pada dasarnya guru pun hanyalah manusia biasa yang pernah mengalami perihnya patah hati. Mereka benar-benar mirip, begitu miripnya sama-sama membuatku terluka. Bukan, kali ini aku tidak patah hati oleh guru baru itu. Hanya saja dia mengecewakanku.

Tepatnya seminggu yang lalu bu Sekar menjadi pengawas ujian pada mata pelajaranku, Akuntansi. Yang membuatku kecewa adalah perilakunya. Dengan susah payah aku mengajarkan anak didikku untuk menghargai kejujuran, mengatakan bahwa ilmu lebih penting dari sekedar angka. Menyadarkan mereka yang begitu dibutakan oleh angka dan peringkat. Lalu dengan mata kepalaku sendiri aku melihat bu Sekar memberi jawaban pada salah satu dua anak dikelas, itu suatu kecurangan bukan?

Entah apa ini, seorang pengawas memberi contekan pada anak yang diawasi. Bukankah seharusnya pengawas itu netral? Tidak memihak manapun. Lalu apa maksudnya memberi jawaban pada anak yang bahkan aku sangsi jika bu Sekar mengenal baik mereka. Modus apapun itu, pelaggaran tetaplah kejahatan.


“Siang mas Panji, saya duluan..” sapa mba Sekar sambil berlalu keluar dari ruang kantor.

“Siang juga mba,” sahutku

Setelah mba Sekar tidak terlihat lagi, tiba-tiba pak Pram mendekati mejaku. “Mas Panji itu gimana sih? Dikasih kode kok ya cuek bebek gitu. Jangan terlalu cuek mas.”

“Saya ngga pinter basa basi, dan ngga bakat cari muka. Emang harusnya gimana pak?” sahutku polos.

“Walahh mas Panji itu beneran polos apa pura-pura polos, mba Sekar itu kurang apa mas? Udah cantik, mandiri, lebut, baik. Hayoo jangan sampe nyesel keduluan yang lain loh.”

‘kurang jujur’ kataku dalam hati

Sebagai jawabannya aku tersenyum, “Pak Pram ada-ada aja.”

“Nyesel itu adanya dibelakang mas,”

“Iya pak, kalo didepan namanya pendaftaran.” aku menggeleng-gelengkan kepalaku sambil menahan tawa.

“Udah gini aja, nanti malem mas Panji ke rumahnya mba Sekar, ajakin makan atau jalan-jalan. Saya yakin mba Sekar itu ada rasa sama mas Panji.” Ujar pak Pram sambil berjalan kembali ke mejanya.

“Hehe iya pak akan saya pikirkan sarannya, saya pulang dulu pak..” pamitku pada pak Pram.


Baru tadi pagi ibuku menelpon menanyakan keadaanku, ah maksudku keadaan hatiku. Sepertinya beliau mulai khawatir aku akan melajang seumur hidupku. Tapi yahh sudah ku bilang aku belum memikirkannya.

Aku masih ingin melanjutkan study magisterku, aku ingin mencari pengalaman dengan menjajakan kakiku disetiap benua di dunia, berbagi ilmu pada setiap orang. Bisakah? Bisakah mereka mengerti pilihanku?
Mantan kekasihku, dia memilih meninggalkanku daripada menungguku mengikuti pengabdian profesi setahun lalu. Entahlah dia sangat ingin menikah, sedangkan aku merasa belum cukup siap. Salahkah?

Aku berharap semua orang dapat mengerti jalan pikiranku. aku memiliki prioritas, dan aku hanya butuh mereka memahami pilihanku. Biarlah aku memilih jalan hidupku, biarkan aku menjalaninya senyamanku.

Aku pikir aku belum terlalu tua, untuk apa terburu-buru? Seperti kata pak Dino ‘Jodoh itu kayak PR, namanya PR bisa dikerjain kapan aja.Tapi harus inget, ada deadlinenya.’ Aku rasa deadlineku masih cukup panjang.



@dearestSukma

©SUKMAGR34T
0 Responses

Post a Comment